Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tersambung kepada Rasulullah, kesejahteraan semoga terlimpah atas muslimin dan muslimat.
Pada tulisan sebelumnya, kita telah sama-sama mengurai bahwa kesucian Ramadhan adalah karena pada bulan ini diturunkannya (permulaan) Al Quran. Maka yang harus dijadikan misi utama kehadiran kita dalam bulan ini adalah menjadikan Al Quran sebagai pegangan hidup kita. Tapi karena Al Quran itu adalah ajaran yang suci dari Allah Yang Maha Suci, maka untuk menyentuhnya pun diharuskan dengan jiwa yang suci, jiwa yang kotor tidak akan bisa menyentuh Al Quran, apa lagi menjadikannya sebagai pegangan hidup, menyentuhnya saja tidak bisa. Maka mau tidak mau jiwa kita harus disucikan, harus dibersihkan dari segala macam-macam kotoran jiwa. Proses pensucian jiwa itulah yang dinamakan dengan puasa (shaum). Dan proses ini tidak hanya dilakukan pada bulan ke 9 pada hitungan tahun hijriyah saja. Akan tetapi Ramadhan itu hendaknya dihadirkan setiap saat dalam kehidupan kita. Puasa itu hendaknya dilakukan setiap saat dimanapun kapanpun kita berada. Sehingga benar-benar kita bisa memasukkan nilai-nilai kebenaran Al Quran kedalam jiwa kita, dan merealisasikannya dalam setiap gerak langkah kita sehari-hari. Bukankah "wadah" sebenarnya bagi Al Quran itu adalah "diri" kita, bukannya kertas atau mushhaf.
Pada tulisan ini, mari kita urai lebih dalam lagi tentang makna Ramadhan.
Ramadhan berasal dari kata ar-ramdhu yang berarti bakar, membakar, pembakaran, jadi makna Ramadhan merupakan bulan yang membakar kotoran-kotoran jiwa. Jika jiwa kita diibaratkan seperti besi, maka kotoran-kotoran jiwa itu adalah karat-karatnya. Besi yang penuh dengan karat akan susah dibentuk dan diwarnai, ia hanya akan menjadi sampah dipojokan gudang, dan secara perlahan akan merapuh dan hancur menjadi debu.
Biasanya, sering kita mengatakan atau mendengar bahwa shaum berfungsi untuk menundukkan hawa nafsu jelek kita. Hanya saja, yang dimaksud sekadar menahan makan dan minum, tidak melakukan judi, tidak bertengkar, tidak menggunjing, atau aktivitas lain yang sifatnya moralitas semata. Kalaupun faktanya demikian, berarti telah terjadi penyempitan makna dari pengertian menundukkan hawa nafsu itu sendiri, sebagaimana Allah berfirman dalam ayat-ayat berikut :
Al Najm (53) : 3-4,
Artinya: "Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya"
Al Anbiya (21) : 45,
Artinya: "Katakanlah (hai Muhammad), “Sesungguhnya Aku hanya memberi peringatan kepada kalian dengan wahyu.”
Dalam ayat di atas, Allah secara tegas menjelaskan bahwa hawa nafsu dan wahyu adalah saling bertolak belakang. Artinya, hawa nafsu bertentangan dengan wahyu. Kalau wahyu diartikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Allah, maka hawa nafsu adalah sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang datang dari manusia. Oleh karena itu, hawa nafsu tidak hanya terbatas pada aspek moralitas yang salah saja, tetapi juga seluruh aktivitas yang keliru yang bersumber dari diri manusia sendiri.
Karena itu, ketika bulan Ramadhan dikatakan sebagai bulan menundukkan hawa nafsu, maka yang seharusnya terbayang dalam benak kita adalah kita menundukkan hawa nafsu kita pada kehendak wahyu sehingga kita tidak akan melakukan seluruh aktivitas (bukan sekadar aspek moralitas semata) yang dilarang oleh wahyu (Al Quran dan Sunnah Rasul). Artinya, selain kita meninggalkan judi, kita juga harus meninggalkan aktivitas menghalang-halangi atau bahkan menekan dakwah Islam. Selain kita meninggalkan mengunjing orang lain, kita juga harus meninggalkan upaya mempropagandakan sekularisme, nasionalisme, paham kebebasan, penyamaan agama, kapitalisme, sosialisme, komunisme, demokrasi, dan pahampaham sesat lainnya yang bertentangan dengan paham Islam. Kita pun berusaha untuk tidak melakukan praktik riba, bermuamalah ekonomi secara kapitalis, berpolitik secara machiavelis, bernegara tanpa undang-undang Al Quran dan Al Hadits, mempertahankan hukum kufur, berinteraksi dalam masyarakat tanpa patokan-patokan sistem sosial kemasyarakatan secara islami, serta menjalani seluruh kehidupan tanpa berdasarkan syariat Islam.
Ali 'Imran (3): 85,
Artinya: "Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dien (sistem penataan hidup, keyakinan, ideologi) maka tidak akan diterima apa pun darinya dan di akhirat kelak dia termasuk orang yang merugi"
Al Maidah (5): 50,
Artinya: "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah?"
Dari dua ayat di atas, tampak jelas bahwa kita diminta untuk berhukum hanya pada apa yang telah diwahyukan oleh Allah seluruhnya, bukan sepotong-sepotong. Itulah hakikat sebenarnya dari upaya menundukkan hawa nafsu.
Apabila kita telah melaksanakan aktivitas tersebut, insya Allah kita akan terkategori sebagai manusia yang benar-benar bertaqwa sebagaimana firman Allah:
Al Baqarah (2): 183,
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa"
Hubungan Ketaqwaan dengan Al Quran
Bulan Ramadhan adalah bulan taqwa dan bulan turunnya Al Quran. Siapa pun yang mengkaji Al Quran dengan baik akan menyimpulkan bahwa orang yang bertaqwa hidupnya akan senantiasa dipimpin oleh syariat Allah (Al Quran). Allah berfirman:
Al Baqarah (2): 1-2,
Artinya: "Alif lam mim. Inilah Kitab (Al Quran), tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa"
Berdasarkan ayat ini, orang yang bertaqwa akan selalu menjadikan Al Quran sebagai cahaya dan way of life (petunjuk hidup) dalam menyelesaikan problematika hidupnya dan manusia sekitarnya.
Dalam ayat lain, Allah mewahyukan:
Al An’am (6): 155,
Artinya: "Al Quran itu adalah kitab yang diberkati yang Kami turunkan. Karena itu, ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian diberi rahmat"
Dalam ayat di atas, Allah lebih mempertegas penjelasannya, betapa mereka yang bertaqwa akan senantiasa mengikuti apa saja yang diwahyukan oleh Allah dalam Al Quran maupun Sunnah Rasul-Nya.
Bersambung...
Alhamdu lillahi Rabbi l 'Aalamiin.