15 Agu 2012

Mutiara Ramadhan - Bag 3 - Puasa - Pembebasan Menuju Kemenangan.


Mutiara Ramadhan - Bagian ke 3 - Puasa Pembebasan Menuju Kemenangan adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya yaitu artikel Ketika Ramadhan Tak Suci Lagi - Bagian 2 yang di post pada tanggal 03 Agustus 2012. Silahkan mengunjungi dan membaca artikel pada link tersebut untuk mendapatkan gambaran utuh dari tulisan ini.

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tersambung kepada Rasulullah, kesejahteraan semoga terlimpah atas muslimin dan muslimat.

Tulisan ini adalah seri ketiga dari serial Kultum Ramadhan SKI. Pada seri pertama kita telah bersama membahas tentang apa sih yang harus dijadikan misi utama kita pada bulan ini?. Dan telah sama-sama kita temukan jawabannya dari Al Quran, yaitu "menjadikan Al Quran sebagai pegangan hidup". Cara untuk mencapainya adalah dengan berpuasa, yakni mensucikan jiwa kita dari kotoran-kotoran jiwa seperti syirk, nifaq dan ketergantungan kepada selain Allah, karena hanya jiwa yang suci sajalah yang akan bisa menyentuh ajaran Al Quran - laa yamassu-hu illa l muthahharuun. Pada seri kedua kita telah membahas keterkaitan antara Al Quran dan ketaqwaan, yang mana ketaqwaan adalah target dari puasa. Disamping itu juga kita telah ketahui bersama bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, baik fardiyah maupun jam'iyah, baik 'ain maupun kifayah, baik mahdhah maupun ghayru mahdhah, individual dan sosial.

Untuk lebih menguatkan pemahaman kita tentang hal ini, ada baiknya kita melirik kepada uswah kita yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana beliau menyelenggarakan Ramadhan bersama rakyatnya?

Perintah berpuasa pada bulan Ramadhan, yakni surat Al Baqarah ayat 183 diturunkan pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun setelah umat Islam hijrah ke Yatsrib dan membangun Madinah. Ketika itu, Nabi Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitulmaqdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidil Haram, Mekah.

QS. Al Baqarah (2): 144.
قَد نَرىٰ تَقَلُّبَ وَجهِكَ فِى السَّماءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبلَةً تَرضىٰها ۚ فَوَلِّ وَجهَكَ شَطرَ المَسجِدِ الحَرامِ ۚ وَحَيثُ ما كُنتُم فَوَلّوا وُجوهَكُم شَطرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذينَ أوتُوا الكِتٰبَ لَيَعلَمونَ أَنَّهُ الحَقُّ مِن رَبِّهِم ۗ وَمَا اللَّهُ بِغٰفِلٍ عَمّا يَعمَلونَ ﴿١٤٤


Artinya: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah "wajahmu" ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah "wajahmu" ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan."

Pengalihan kiblat dari Darussalam (Palestina) ke Masjidi l Haram (Mekkah) oleh sebagian kalangan hanya dipahami sebagai pengalihan arah menghadap ketika shalat (ritual). Pemahaman ini benar, tapi belum cukup mewakili makna yang sebenarnya. Kiblat (serapan bahasa Indonesia dari bahasa Al Quran QIBLAT) adalah sebuah tempat dimana seluruh umat menghadapkan wajahnya kesana untuk mengadukan setiap persoalan. Dimana seluruh umat menjadikannya sebagai sentral kegiatan pelaksanaan ibadah, mereka thawaf (berjalan dalam ikatan orbit pemimpinnya), mereka wukuf (menerima arahan pemimpinnya), mereka i'tikaf (fokus melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai umat), dan lain-lain. Intinya, kiblat adalah sebuah tempat yang dijadikan pusat pemerintahan dalam sebuah komunitas kehidupan dari komunitas terkecil yaitu nafsi sampai komunitas terbesar seluruh bumi yaitu khilafah fil ardh. Kiblat bagi nafsi adalah qalbu, dimana disitu bersemayam ruh Allah. Kiblat bagi keluarga adalah rumah, dimana ke tempat itulah seluruh anggota keluarga pulang. Kiblat bagi sebuah desa adalah kantor kelurahan, kecamatan adalah kantor camat, negara adalah istana negara, dan seterusnya.

QS. Yunus (10): 87.
وَأَوحَينا إِلىٰ موسىٰ وَأَخيهِ أَن تَبَوَّءا لِقَومِكُما بِمِصرَ بُيوتًا وَاجعَلوا بُيوتَكُم قِبلَةً وَأَقيمُوا الصَّلوٰةَ ۗ وَبَشِّرِ المُؤمِنينَ 
Artinya: "Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu kiblat dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman."

Pasca tegaknya Madinah di tanah Yatsrib, Rasulullah amat dirisaukan dengan kenyataan bahwa tempat yang akan dijadikan pusat pemerintahan jika Madinah sudah berhasil mendirikan khilafah fil ardh (kepemimpinan Islam seluruh dunia) adalah Yerusalem. Rasulullah menginginkan jika nanti khilafah fil ardh itu ber-ibukota ke Masjidi l Haram yang merupakan warisan dari "the founding father" Islam, Nabi Ibrahim AS.

Disamping itu, naluri kaum musliminpun berbicara, yakni nostalgia - rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Diatas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat-tinggal mereka sesudah mereka besar. Kesana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali kedalam tanah tempat ia dijadikan itu.

Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tiga belas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Islam tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.

Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan ber-dien dan membela tanah air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar 'Aqaba yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Allah, tanggung jawab kepada "Rumah Suci" warisan Ibrahim, kepada tanah air, Mekah yang mereka cintai itu? Kearah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan Dien Allah serta seruan kebenaranpun akan terjunjung tinggi.

Maka dengan turunnya ayat tentang pemindahan kiblat ke Masjidi l Haram menjadi jelaslah visi dan misi perjuangan Rasulullah ke depan, yaitu Pembebasan Mekkah dari kekuasaan Jahiliyyah suku Quraisy. Tidak mengherankan jika selanjutnya program-program yang dicanangkan dalam perjuangan Rasulullah adalah menuju kepada satu titik yaitu merebut kembali Masjidi l Haram dari orang-orang kafir Quraisy.

QS. Al Tawbah (9):17.
ما كانَ لِلمُشرِكينَ أَن يَعمُروا مَسٰجِدَ اللَّهِ شٰهِدينَ عَلىٰ أَنفُسِهِم بِالكُفرِ ۚ أُولٰئِكَ حَبِطَت أَعمٰلُهُم وَفِى النّارِ هُم خٰلِدونَ 
Artinya: "Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka."

Usaha untuk "mengusir" kafir Quraisy dari Masjidi l Haram inipun dimulai, yang pertama adalah upaya pencegatan kafilah dagang Abu Sufyan. Peristiwa pencegatan inilah yang mengawali terjadinya perang badr.

Tapi, modal apa yang harus disiapkan untuk menghadapi negara kaya seperti Mekah, suku yang kuat seperti Quraisy? Sementara keadaan kaum muslimin di Yatsrib juga belumlah bisa dikatakan stabil. Umat Islam masih dijerat banyak persoalan, diantaranya persoalan ekonomi. Bagaimana bisa mengalahkan Mekah? Bagaimana caranya menandingi kekuatan ekonomi Mekah? Bagaimana pula caranya menandingi semangat juang tentara Mekah yang berjumlah ribuan orang. Belum lagi tantangan dari internal Madinah sendiri, tingkah polah Yahudi dan Munafiqin amat mengganggu stabilitas Madinah. Realitas-realitas inilah yang membuat seolah-olah cita-cita mengalahkan Mekah hanya akan menjadi tamanny (harapan kosong) belaka.

Ketika muncul pertanyaan-pertanyaan yang meragukan itulah, maka turun perintah Allah kepada Umat Islam untuk berpuasa. Ya, puasa Ramadhan, sebuah Pembebasan Diri.

Bagaimana bisa membebaskan Mekah, kalau diri sendiri saja masih terpenjara oleh ketergantungan kepada selain Allah. Dengan puasa inilah mentalitas Umat Islam dipupuk, bahwa kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir itu haruslah diraih jika kita menghendaki sebuah kemenangan melawan musuh-musuh Islam. Bagaimana bisa menang dalam medan pertempuran kalau kemauannya untuk totalitas menyerahkan semua kepada Allah masih terbelenggu? Bagaimana bisa mengalahkan musuh-musuh yang kuat kalau pikirannya masih terkuras oleh persoalan-persoalan pribadi berkaitan tentang masalah ekonomi? Untuk bisa mengalahkan kekuatan yang besar, maka yang harus dilakukan adalah feel free, tanpa beban. Lepaskan semua jeratan-jeratan duniawi dalam pikiran kita, serahkan semua kepada Allah.

Lalu, apa hubungannya puasa dengan pembebasan kemauan dan pembebasan berpikir? Mari kita simak uraian berikut ini:

Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia sudah mengalihkan tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa, sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang di waktu siang ia tak dapat menikmatinya!

Kalau begitu Allah jugalah yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya bahwa puasa itu memberi faedah kedalam rohaninya, tapi ia puasa karena menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya sendiri akan perlunya puasa itu. Ia melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia kedalam kesenangan, sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan ini sama seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian, bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula.

Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi. Puasa yang sebenarnya ialah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan ini sudah diperolehnya kembali, ia dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah.

Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir. Ini memang tampak aneh, karena dalam bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui batas-batas segala yang dapat diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam hidup bukanlah demikian.

Kenyataannya, manusia adalah budak kebiasaannya. Ia sudah biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya: "makan pagi dan sore sajalah", maka ini akan dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya. Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya. Orang yang sudah biasa merokok sampai kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan kepadanya: "sehari ini kamu jangan merokok", maka ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya. Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya: "gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain", maka pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya yang sesungguhnya.

Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Allah tak mungkin bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri. Disamping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri - dengan kehendak Allah - mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi itu.

Maka hasil dari pelaksanaan puasa ini adalah Kemenangan. Kemenangan Diri karena telah berhasil membebaskannya dari segala bentuk lekatan-lekatan duniawi. Kemenangan diri adalah modal bagi Kemenangan Ekonomi, karena dengan puasa Umat Islam akhirnya memiliki pandangan berbeda tentang harta, bahwa harta bukanlah segala-galanya dan amat sangat tidak pantas untuk diagungkan dan dipikirkan terus menerus. Alirkan saja harta itu untuk membangun kekuatan Islam, kekuatan Madinah sebagai modal mengalahkan kekuatan musuh-musuh Allah, Mekah.

Dan puncak dari rentetan kemenangan ini adalah Kemenangan Islam. Siapa juga yang mampu mengalahkan orang yang sudah siap untuk meninggalkan raga ini? Siapa juga yang akan mampu membendung jiwa-jiwa yang suci yang sudah sangat merindukan bertemu dengan Sang Maha Suci? Siapa juga yang sanggup merobohkan benteng-benteng hati yang sudah membaca dengan pembakaran yang sempurna? Tak ada yang mampu mengalahkan mereka. Mereka yang sudah ikhlash tentang apapun yang akan terjadi, mereka sudah mengatakan TERSERAH ALLAH.

bersambung...

Al Hamdu li Allah, Rabb Al 'Alamin. Lihat dalam tampilan PDF

0 comments:

Posting Komentar