HATI-HATI 10 HAL PEMBATAL SYAHADAT

Allah telah mewajibkan bagi seluruh hambanya untuk masuk ke dalam Islam dan berpegang teguh dengan ajaran-Nya dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang darinya....

Mengenal dan Memahami Manusia dalam ISLAM

Inilah hal pertama yang harus kita pelajari dalam islam yaitu mengenal manusia, mengenal diri kita. Jika ada anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya,....

Trading Forex Modal Gratis 15$

Anda mudah dalam Membuka Account Live untuk transaksi real, tidak terbatas membuka akun demo sebagai sarana untuk menguji atau latian, berbagai jenis account forex...

Mengenal Al-Quran.

Al-Quran berasal dari kata : ?َ?? - ???? - ????? - ????? berarti bacaan. Al-Quran adalah Kalamullah yang mulia dan terpelihara

Mengenal Allah

Mengenal Allah SWT, adalah suatu bagian terpenting bagi seorang yang mendeklarasikan dirinya seorang Muslim. Manalah mungkin ia bisa mengatakan dengan lantang bahwa dirinya muslim, sementara ia tidak mengenal dan memahami Allah yang menjadi sembahannya.

Skenario Global Kehidupan Manusia

Kehidupan dibumi telah dilalui pada suatu masa yang penuh dengan kegelapan. Tidak ada toleransi dan persamaan hak diantara mereka. Pertumpahan darah dan permusuhan berlangsung sebagai suatu hal yang biasa.

Makna Dien-ul-Islam

Sesungghnya Islam itu dien samawi yang befungsi sebagai rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Din Islam memiliki nilai kesempurnaan yang tinggi, lagi pula sesuai dengan fitrah manusia dan cocok dengan tuntutan hati nuranimanusia seluruhnya sebagai makhluk ciptaan Allah dalam menerima Dinullah yang hak.

26 Jul 2012

QALBUN SALIM

Al Qur'an Surat Ibrahim (37):83-84,

وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لإبْرَاهِيمَ إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan Nuh. Ingatlah, ketika ia datang kepada Rabb-nya dengan Qalbun Salim.

QALBUN SALIM

Qalb, orang menterjemahkannya dengan Hati, tapi jangan salah paham, Qalb itu bukan liver, dan juga bukan otak. Hal ini mengacu kepada Al Quran, Al Hadits, dan data-data empiris. Bahwa ternyata ‘hati’ (Qalb) memiliki definisi sebagai: segumpal daging, yang berada di dalam dada, dan bisa bergetar-getar ketika dikenai perubahan perasaan.

22:46, "… Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah HATI (Qalb) yang ada di dalam DADA."

8:2, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah BERGETARLAH hati (Qalb) mereka…"

HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir, "Ketahuilah, di dalam jasad ada SEGUMPAL DAGING (mudghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (Qalb).’’

Dengan mengambil tiga acuan diatas kita bisa mendefinsikannya dengan tegas, bahwa hati (Qalb) adalah jantung. Tentu saja, Anda boleh berbeda pendapat dengan saya. Cuma, sebaiknya dengan landasan alias dalil ayat Al Quran, atau Al Hadits, atau data-data empiris ilmu pengetahuan yang sesuai. Jika tidak, dengan sendirinya, kesimpulannya menjadi lemah. Karena, hanya berupa pendapat pribadi yang sangat subyektif.

Maka, Hati yang diistilahkan Qalb adalah hati yang bersemayam di dalam dada, dan lebih spesifik lagi bersemayam di organ jantung. Hati yang Qalb adalah sebuah radar yang bisa mendeteksi dan sekaligus memancarkan getaran perasaan seseorang. Getaran sedih dan gembira akan terpancar dengan frekuensi yang berbeda. Getaran marah dan sabar juga terpancar dengan frekuensi yang berbeda.

Ini adalah sebuah pancaran gelombang yang benar-benar bisa diukur dengan menggunakan alat perekam gelombang jantung, ECG (Electro Cardio Graph). Meskipun penelitian dalam bidang ini masih sedang berjalan, tetapi sudah diketahui bahwa pola gelombang yang terekam dalam ECG itu sesungguhnya memiliki informasi yang sangat banyak. Diantaranya adalah ’problem mekanis’ alias kerusakan organ tersebut, sekaligus tentang ’problem psikologis’ alias kualitas perasaan si pemilik jantung.

Sebenarnya, secara awam, hal ini sudah bisa kita rasakan sendiri. Cobalah rasakan dan cermati, bagaimanakah pola getaran jantung Anda ketika sedang marah, sedang sedih, sedang takut, sedang terharu, sedang gembira, dan lain sebagainya? Tentu saja, semuanya berbeda sesuai dengan getaran perasaan yang menyertainya.

Frekuensi dan pola gelombang jantung itu ternyata merupakan ’kepanjangan tangan’ dari sesuatu yang lebih abstrak, yakni ’hati dalam’. Jantung adalah ’hati luar’, yang fungsinya hanya sebagai alat sensor khusus, semacam radar. Tetapi berfungsi timbal balik. Bukan hanya receiver alias penerima getaran, melainkan juga transmitter alias pemancar getaran. Maka, jantung bisa disebut sebagai indra transceiver, yang bekerja secara radiasi gelombang elektromagnetik. Bukan sekedar dipengaruhi oleh kinerja neurotransmitter dan hormon dalam darah yang membuatnya berdegup lebih kencang.

Sehingga, Al Quran menyetarakan organ jantung itu dengan mata dan telinga sebagai ’alat pelihat’ dan ’alat pendengar’. Dan bukan pada tataran ’persepsi melihat’ dan ’persepsi mendengar’. Perhatikanlah ayat berikut ini.

7:179, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (Qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."

Jadi, Qalb disetarakan dengan mata, bukan ’melihat’. Juga disetarakan dengan telinga, bukan ’mendengar’. Karena ’melihat’ dan ’mendengar’ itu memang tidak terjadi di mata dan telinga, melainkan di OTAK, yakni di pusat penglihatan dan pusat pendengaran. Meskipun mata dan telinganya sehat, tetapi jika pusatnya di otak bermasalah, atau pun saraf penghubungnya yang bermasalah, kita tidak akan bisa melihat atau mendengar. Melek tetapi tidak melihat, tidak tuli tetapi tidak bisa mendengar.Maka, demikianlah, getaran jantung itu menjadi transceiver yang lantas mem-feed-back kembali pola getaran tersebut ke pusat hati yang ada di otak. Dalam istilah Al Quran disebut sebagai Fu`ad, yakni ’Pusat Kecerdasan Hati’.

Qalbun salim adalah hati yang sudah melakukan pembuktian-pembuktian secara ilmiah dalam proses ber-Islam, sehingga memperoleh perasaan yang menggetarkan, dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah. Dalam istilah lain bisa dikatakan dengan ‘rasio yang emosional’ atau ‘emosi yang rasional’. Yakni, penggabungan fungsi Hipocampus dan Amygdala dalam kinerja Sistem Limbik yang seimbang (dalam bahasa biologinya seperti itu). Dalam bahasa awam dapatlah dikatakan sebagai "kemampuan untuk menyeimbangkan antara pikiran (rasio) dan perasaan (emosi)".

Rasionalitas Ibrahim

21:62-63,

قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ 62 قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ

Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara".

Emosionalitas Ibrahim

9:114,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

Sumber : SKI
Lanjutkan Membaca ...

Tarekat Menuju Maqam Ma'rifatullah

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah, shalawat beserta salam semoga tersambung kepada Rasulullah, kesejahteraan semoga tercurah atas muslimin dan muslimat.

A. Apa Arti Tarekat ?

Tarekat, demikian serapan bahasa Indonesia-nya dari kata bahasa Arab "Thariqat" ( طرىقه ). Kata ini dalam kamus Al Munawwir diterjemahkan sebagai jalan, cara atau metode yang ditempuh dalam mencapai tempat yang dituju. Belakangan istilah ini lebih dikenal sebagai jalan bagi calon sufi untuk mencapai maqam ma'rifatullah. Penggunaan istilah ini tidak sepenuhnya benar, banyak kesalahpahaman yang terjadi dalam memaknai arti kata ini. Demi meng-eliminasi kesalahpahaman itu hendaklah kita merujuk kepada Al Quran, bagaimana Allah "menterjemahkan" kata ini.

Berikut ayat-ayat Al Quran yang menerangkan tentang "Thariqat":

1. QS Al-Jinn/ 72:16

Artinya: "Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu ( الطَّرِيقَةِ ), benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar."

Kata "thoriqoh" dalam ayat ini artinya "jalan kebena­ran dan keadilan". (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta'wil, juz XVI, hal. 5950).

2. QS Al-Ahqaaf/ 46:30

Artinya: "Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami men­dengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus ( طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ )."

Kata "thariqin" dalam ayat ini artinya ialah "Dien Al Islam" (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta'wil, juz XV hal. 94).

3. QS An-Nisaa/ 4:168-169

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan menunjukkan jalan ( طَرِيقًا ) kepada mereka. Kecuali jalan ( طَرِيقَ ) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".

Kata "thariqon" dalam 168 artinya ialah "satu jalan menuju surga". Sedangkan dalam ayat 169 artinya ialah "jalan yang menyampaikan orang menuju jahannam" (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz I, hal. 94).

4. QS Thaha/ 20:104

Artinya: "Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya ( طَرِيقَةً ) di antara mereka!" Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan sehari saja."

Kata "thoriqoh" dalam ayat ini artinya ialah "jalan" (ibid, juz II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan "jalan yang lurus" di sini ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu.

5. QS Thaha/ 20:77

Artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka jalan ( طَرِيقًا ) yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)."

Kata "thoriqon" dalam ayat ini berarti "Allah menger­ingkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya." (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24).

6. QS Thaha/ 20:63

Artinya: "Mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu ( بِطَرِيقَتِكُمُ ) yang utama."

Kata "thoriqoh" dalam ayat ini ada yang mengartikannya dengan "keyakinan (agama)" (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang menafsirkannya dengan "Bani Israel". (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid II, hal. 543).

7. QS Al-Mu'minuun/ 23:17

Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan ( طَرَائِقَ ); dan Kami tidaklah lengah terha­dap ciptaan (Kami)".

Kata "thoroiq" dalam ayat ini artinya "lan­git", thoroiq kata jama' dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat." (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45).

8. QS Al-Jinn/ 72:11

Artinya: "Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan ( طَرَائِقَ ) yang berbeda-beda."

Kata "thoroiq" dalam ayat ini artinya "Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir." (ibid, hal. 240).

Demikian firman Allah menyinggung makna thariqat. Dari rangkaian ayat-ayat diatas, dapat kita ambil kesimpulan makna thariqat sebagai berikut:"Sebuah jalan yang merupakan metode pencapaian tujuan yang didalamnya berisi konsep integral yang mencakup paradigma, sikap, perkataan maupun tindakan, lahir dan barthin.

B. Thariq Al Mustaqim dan Thariqa Jahannam

Thariqat yang dilalui oleh manusia secara global terbagi menjadi dua, yaitu Thariq Al Mustaqim dan Thariqa Jahannam. Thariq Al Mustaqim adalah jalan yang dilalui oleh orang-orang yang bertujuan kepada Allah, yaitu jalan yang lurus yang sesuai dengan petunjuk Al Quran dan Al Sunnah. Sedangkan Thariqa Jahannam adalah jalan yang dilalui oleh orang-orang yang bertujuan tidak kepada Allah, yaitu jalan yang menyimpang yang tidak sesuai dengan petunjuk Al Quran dan Al Sunnah.

Pada hakekatnya, semua manusia menginginkan yang terbaik sebagai tujuan akhir hidupnya, tapi dikarenakan keengganannya untuk mempelajari apa yang benar-benar baik buat dirinya maka dengan sendirinya ia menjadi salah paham, apa yang disangkanya baik ternyata tidak baik. Sehingga banyak manusia yang tanpa sadar telah menapaki Thariqa Jahannam, tetapi merasa sedang menapaki Thariq Al Mustaqim. Selain keterbatasan ilmu karena enggan belajar, hal ini juga bisa terjadi dikarenakan ketidakberdayaannya dalam melawan hawa nafsu.

C. Tarekat = Syare'at + Hakekat

Jalan untuk sampai kepada Allah haruslah mengikuti rute yang ditentukan, dan untuk mengetahui detail tentang rute itu haruslah memahami petunjuknya, dan petunjuk jalan itu tidak lain adalah Al Quran. Perjalanan mengikuti petunjuk Al Quran sebenarnya mudah sekali, mengapa saya katakan mudah? dikarenakan sebelum kita sudah ada orang yang menapaki jalan itu dan telah sampai ke tujuan, dialah Rasulullah Muhammad SAW. Maka ikutilah panduan Al Quran dengan melihat jejak langkah Rasulullah dalam menelusuri rute yang diarahkan oleh Al Quran, Insya Allah kita tidak akan tersesat.

Dalam setiap perjalanan pasti ada aturan mainnya, rambu-rambunya. Aturan ini meliputi seluruh aspek kehidupan, bersifat lahir maupun bathin. Aturan yang dimaksud adalah Syare'at, demikian orang Indonesia menyebutnya yang merupakan serapan dari bahasa Arab, Syari'at (pakai huruf i) ( شرىعه ). Allah sebagai pemilik jalan telah menetapkan aturan bagi siapa saja yang hendak menapaki jalan menuju-Nya. Dan aturan (syari'at) itu sendiri juga tercantum lengkap di dalam Al Quran yang merupakan petunjuk dalam perjalanan.

QS. Asy-Syura/ 42:13

Artinya: "Dia telah men-syari'at-kan untuk kamu bagian dari Al Dien, yaitu apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah Al Dien dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik Al Dien yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada Al Dien itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)."

Manna al-Qathan (ahli fiqih dari Mesir) mendefinisikan syari'at sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah 'aqidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

QS. Al Jatsiyah/ 45:18

Artinya: "Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syari'at dari setiap urusan. Maka ikutilah ia dan jangan mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui."

Ibnu Abbas berkata, "Makna mengikuti syari'at pada ayat di atas maksudnya mengikuti petunjuk dan tuntunan dalam Al Dien."

Qatadah berkata, "Yang dimaksud dengan syar'iat adalah perintah dan larangan, serta sejumlah hukum dan kewajiban."

Jadi, syari'at adalah sejumlah perintah dan ketentuan ilahi yang menata kehidupan setiap muslim dalam seluruh aspek. Selain mencakup hukum yang bersifat pribadi ('ain), ia juga berisi kaidah politik, hukum, ekonomi, budaya etika, adab, dan perilaku sehari-hari (kifayah).

Di dalam syari'at tersimpan hakekat. Hakekat (demikian serapan bahasa Indonesia dari kata bahasa Arab Haqiqat / حقىقه) artinya kebenaran atau fakta. Kata Haqiqat sendiri merupakan salah satu dari asma Allah yaitu Al Haqq yang artinya "the absolute one" atau Yang Maha Mutlak Kebenarannya.

Dalam Al Quran, banyak sekali disebut kata ini, diantaranya dalam ayat berikut:

QS. Al Baqarah (2):42

Artinya: "Dan janganlah kamu campur adukkan yang Al Haq dengan yang Al Bathil dan janganlah kamu sembunyikan Al Haq itu, sedang kamu mengetahui"

Dalam ayat diatas, kata Al Haq adalah antonim dari kata Al Bathil. Maka kalau Al Bathil itu artinya hilang, rugi, rusak, sia-sia, berarti Al Haq adalah sesuatu yang tidak akan hilang, tidak akan rusak, dan tidak akan percuma namun pasti bermanfaat.

QS. Ali 'Imraan (3):60

Artinya: "Al Haq adalah yang datang dari Rabb-mu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu."

Dalam ayat ini jelas disebutkan dalam kalimat yang tegas bahwa Al Haq adalah yang datangnya dari Allah sebagai Rabb kita. Dengan penyebutan “predikat” Allah sebagai Rabb ini maka pengertian Al Haq dalam ayat ini merujuk kepada Rububiyatullah yang tak lain adalah Al Quran. Al Quran adalah kalamullah yang berisi ajaran Allah tentang haqiqat kehidupan manusia.

Kalam yang merupakan sesuatu yang abstrak itu membutuhkan “wadah” agar ia bisa “terakses” oleh ‘aqal manusia yang juga merupakan wadah. ‘Aqal yang terdiri dari mata, telinga, hati dan otak adalah wadah bagi sifat melihat, mendengar, merasakan (memahami) dan memikirkan, yang mana sifat-sifat tersebut hakikatnya adalah sifat Ilahiyah (ruh) yang ditiupkan ke dalam diri manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini:

QS. Al Sajdah (32):9

Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya sebagian dari ruh-Nya (مِنْ رُوحِهِ ) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan af`idah (perasaan dan pemikiran), tetapi kamu sedikit sekali bersyukur (membuka pendengaran, penglihatan, perasaan dan pemikiran itu / open mind)”

Hal ini sejalan dengan Al Quran, ia hakikatnya adalah Ruh Allah (QS. 42:52) yang berisi nilai-nilai kebenaran yang mutlak (Al Haq), yang dengannya manusia akan dapat memahami hakikat kehidupan yang sebenarnya. Namun, Ruh agar bisa mewujud dalam realitas kehidupan manusia, maka ia mengharuskan adanya wadah. Wadah tersebut adalah ‘Aqal manusia. Manusia diharuskan memasukkan Ruh Allah (Al Quran) itu kedalam ‘Aqalnya sehingga pandangannya adalah pandangan Al Quran, pendengarannya adalah pendengaran Al Quran, pemikirannya adalah pemikiran Al Quran, perasaannya (pemahamannya) adalah perasaan Al Quran. Meski secara wujud ia adalah manusia, tapi hakikatnya ia adalah Al Quran.

Pertanyaannya, apakah semua manusia bisa seperti itu? Jawabannya, BISA, karena dalam diri manusia telah tertanam sesuatu yang disebut fitrah, fitrah itu adalah kecenderungan jiwa (nafsi) manusia untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya Rabb dalam kehidupannya. Kecenderungan ini disebabkan karena nafsi pernah mengikat janji setia dengan Allah ketika nafsi belum terlahir ke dunia, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah berikut ini:

QS. Al A’raaf (7):172

Artinya: “Dan ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (nafsi) mereka: "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka (nafsi-nafsi itu) menjawab: "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)".

Dengan janji itu maka nafsi manusia menjadi terikat dengan Allah, terikat untuk selalu menerima setiap ketentuan Allah, dan terikat untuk mengisi nafsinya dengan Ruh Allah (nilai-nilai kebenaran Al Quran). Namun, kecenderungan ini bisa juga dikalahkan oleh kecenderungan lain yang juga ada dalam nafsi manusia, yaitu kecenderungan kepada keindahan dunia yang amat terasa nikmat dan membuat tubuh manusia kecanduan untuk selalu melahapnya. Inilah dua sisi manusia, kecenderungan nafsi kepada Ruh Allah yang akan membawanya kepada derajat kesucian, dan kecenderungan nafsi mengikuti hawa yang akan membawanya kepada derajat kekotoran.

QS. Al Syams (91):7-10

Artinya: “dan nafsi (jiwa) serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Ini dilemanya, tubuh manusia secara fakta butuh akan dunia, ia butuh makan, butuh minum, butuh energi, butuh seks, butuh berkembang biak, butuh sehat, butuh berhias, butuh mendapat perlindungan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan inilah yang terkadang membuat manusia terlupa akan bagian lain dalam dirinya yaitu nafsi (jiwa) yang juga punya kebutuhan, yaitu kebutuhan kepada Ruh Allah. Jiwa akan cenderung digerakkan kepada hawa, yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tubuh dan lupa akan kebutuhannya sendiri terhadap Ruh Allah. Keadaan ini yang berbahaya, jiwa tidak akan sampai kepada derajat suci malah justru sebaliknya kepada derajat kotor.

Maka, Allah yang Maha Penyayang membuatkan solusi atas dilema ini, Dia dengan Ilmu-Nya menciptakan sebuah cara agar manusia tetap bisa memenuhi kebutuhan tubuhnya akan dunia, tapi sekaligus juga dapat memenuhi kebutuhan jiwanya akan Ruh Allah (Al Quran). Solusi tersebut adalah diturunkannya Syari’at. Dalam pemenuhan kebutuhan tubuh, syari’at mengaturnya sedemikian rupa, sehingga tidak sampai membuat tubuh menjadi serakah akan dunia. Maka haqiqat-nya, syari’at adalah kasih sayang Allah yang diturunkan untuk menyelamatkan manusia itu sendiri.

Tubuh akan cenderung malas dan berleha-leha menikmati irama waktu yang terus berjalan, maka untuk melatihnya agar disiplin, Allah men-syari’atkan kepada tubuh untuk shalat 5 waktu sehari semalam. Tubuh akan menjadi serakah dan tak akan pernah puas dalam bergelimang harta benda, mata silau ketika melihat warna-warni uang, sehingga membuat jiwanya lupa bahwa mata itu harus diarahkan untuk melihat ayat-ayat Allah. Telinga akan terlena mendengar gemercik perhiasan, sehingga membuat jiwanya lupa bahwa telinga itu harus diarahkan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Hati kita akan mabuk kepayang dan otak kita pun melayang-layang membayangkan senyum manis seonggok tubuh sang kekasih pujaan hati, sehingga membuat jiwa kita lupa bahwa seharusnya hati dan otak kita diarahkan untuk merasakan dan memikirkan ayat-ayat Allah. Untuk melatih tubuh kita agar tidak jatuh cinta kepada harta dunia, maka Allah mensyari’atkan kepada tubuh untuk berzakat. Telinga kita terbiasa mendengar bisik-bisik tetangga, mulut kita terbiasa menghisap rokok, lidah kita terbiasa mengecap kopi, sampai-sampai kebiasaan itu memperbudaknya. Maka agar manusia tidak terjebak menjadi budak kebiasaan, Allah mensyari’atkan puasa. Kalau tidak disyari’atkan hudud, tangan kita ini latah mengambil barang milik orang lain. Kalau tidak disyari’atkan qishash, kaki kita akan main tending saja bokong orang. Kalau tidak disyari’atkan rajam (jild), kemaluan kita ini akan masuk kemana saja ia suka. Kalau tidak disyari’atkan hukum waris, tawuran sekeluarga akan sering terjadi. Kalau tudak disyari’atkan hukuman bagi riba, akan semakin banyak orang yang bertindak sewenang-wenang. Kalau tidak disyari’atkan ini, maka akan itu, begini, begitu, dan lain-lain, dan seterusnya, dan sebagainya.

Syari’at adalah hal yang tidak boleh terpisahkan dari Haqiqat, karena jiwa kita sedang berjalan menempuh THARIQAT MENUJU MA’RIFATLLAH, maka tidak mungkin ia mampu berjalan tanpa kendaraan, kendaraan itu ialah tubuh. Setelah ada kendarannya, tak mungkin ia bisa sampai kepada tujuan tanpa petunjuk jalan, petunjuk jalan itu ialah Ruh Allah (Al Quran). Tubuh diberi bahan bakar berupa SYARI’AT dan Ruh Allah dibaca dengan HAQIQAT.

Demikian tulisan yang serba singkat ini, semoga memberi manfaat kepada kita semua. Penjelasan tambahan bisa kita uraikan lebih lanjut dalam komentar.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamin.


Sumber : SKI
Lanjutkan Membaca ...

Mutiara Romadhon - Ketika Ramadhan Tak Suci Lagi

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tersambungkan kepada Rasulullah, kesejahteraan semoga terlimpah atas Muslimin dan Muslimat.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Artinya: "Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila tiba bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu neraka dan setan-setan dibelenggu. (Shahih Muslim No.1793)"

Sedari kecil mungkin kita sudah dikenalkan dengan istilah "bulan suci" yang dijadikan istilah resmi bagi bulan Ramadhan. Namun apakah kita memahami, apa sih yang membuat bulan ini dikatakan sebagai "bulan suci"? Nah, pada kesempatan ini mari kita coba urai bersama-sama agar kita bisa mengambil pelajaran daripadanya.

Untuk mengawalinya, mari kita lirik firman Allah berikut ini:

Al Baqarah (2) : 185,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya : "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Maka, siapa saja di antara kamu menyaksikan datangnya bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa..."

Ternyata, hal yang menjadi penyebab bulan Ramadhan dikatakan "bulan suci" adalah karena pada bulan ini diturunkannya (permulaan) "kitab suci" yaitu Al Quran. Jadi, kalau kita mengharapkan mendapat manfaat dengan kehadiran kita pada bulan ini, maka terimalah Al Quran itu menjadi petunjuk dalam hidup kita, penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Jika tidak seperti itu, maka sia-sialah kehadiran kita pada bulan ini. Dengan kata lain, kesucian Ramadhan tidak menular kepada jiwa kita.

Ini yang harus dijadikan misi utama kehadiran kita pada bulan ini. Jadi, harus ada paradigma yang dirubah. Kalau selama ini, yang ada di benak kita ketika menyambut Ramadhan adalah berpuasa, maka hari ini itu harus dirubah, yang harus kita jadikan misi utama dalam bulan ini adalah "menjadikan Al Quran sebagai pegangan hidup kita".

Lalu, apakah puasa tidak penting lagi, jika masih penting dimanakah letak urgensitas puasa pada bulan ini? Perhatikan ayat berikut ini:

Al Waaqi'ah (56) : 77-80,

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِيكِتَابٍ مَكْنُونٍ لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya : "Sesungguhnya ini adalah Al Quran yang mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari Rabb semesta alam."

Al Quran adalah kitab suci, maka untuk menyentuhnya juga diharuskan jiwa yang suci, jiwa yang kotor tidak akan bisa menyentuh Al Quran. Jadi, bagaimana mau menjadikan Al Quran sebagai pegangan hidup, menyentuhnya saja tidak bisa. Maka mau tidak mau jika kita berharap ingin menjadikan Al Quran sebagai pegangan hidup, maka kita harus mau mensucikan jiwa kita. Orang yang tidak mau mensucikan jiwanya berarti ia merasa sudah suci, dan Allah melarang kita sok suci.

Al Najm (53) : 32,

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

Artinya: "Yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa."

Lalu, bagaimana caranya kita mensucikan jiwa kita? Ya, seperti kita mensucikan baju aja sih, yaitu dengan cara membuang semua kotoran-kotoran yang menempel padanya, maka begitu juga jika kita ingin mensucikan jiwa kita, buang semua kotoran-kotoran jiwa yang menempel. Apa sajakah kotoran-kotoran jiwa yang harus dihilangkan itu?

Yang pertama adalah syirk. Sebagaimana yang diterangkan Allah dalam ayat berikut:

Al Taubah (9) : 28,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis..."

Yang kedua adalah nifaq. Sebagaimana yang diterangkan Allah dalam ayat berikut:

Al Taubah (9) : 95,

سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya: "...Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka (merujuk ke ayat-ayat sebelumnya, mereka yang dimaksud adalah munafiqin) itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan."

Yang ketiga adalah perbudakan kepada selain Allah (berhala), sebagaimana yang diterangkan Allah dalam ayat berikut:

Al Hajj (22) : 30,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Artinya: "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta."

Itulah diantara sebagian diantara kotoran-kotoran jiwa yang harus dihilangkan, disamping masih banyak kotoran-kotoran jiwa lainnya yang juga harus dihilangkan, diantaranya hasad, riya, takabbur, sum'ah, 'ujub, dan lain-lain.

Nah, puasa adalah media pelatihan bagi kita untuk menghilangkan kotoran-kotoran jiwa itu. Bagaimana penjelasannya, bukti konkretnya, atau aplikatifnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dikatakan bahwa puasa adalah media pensucian jiwa?

Perhatikan, ketika kita berpuasa kita dilarang makan, minum, berhubungan badan dengan pasangan. Apa hubungannya makan minum dengan syirk, nifaq dan pengabdian kepada berhala? Ketika kita makan minum apa yang kita jadikan motivasi, apakah Allah atau hawa nafsu kita? Jika yang kita jadikan motivasi makan minum kita adalah Allah tentunya kita hanya akan makan ketika kita lapar dan hanya akan minum ketika kita haus. Karena makan minum kita adalah semata-mata dalam rangka memenuhi kebutuhan tubuh akan energi agar dapat digunakan secara optimal untuk mengabdi kepada Allah. Dan jika energi yang dibutuhkan itu sudah masuk kedalam tubuh, maka ia akan berhenti tanpa menunggu sampai bener-bener kenyang.

Sebaliknya, makan minum yang hanya dengan motivasi menyenangkan hawa nafsu dan "tidak disebut nama Allah" didalamnya cenderung tidak beraturan, mau lapar atau tidak kalau lidah sudah ngiler karena aroma soto ayam, pasti langsung dilahap. Bahkan ada yang pikirannya sampai terkuras memikirkan, "nanti sore enaknya makan apa ya?" Ada juga yang sampai melalaikan diri dari mengingat Allah demi memenuhi kebutuhan perutnya. Bahkan ada yang dengan sengaja melabrak batas-batas (hukum) yang Allah tentukan karena takut tidak makan. Kalau sudah begitu, maka hakikatnya bukan saja syirk, nifaq atau pengabdian kepada berhala, tapi ketiga-tiganya sudah layak disematkan kedalam jiwanya. Na'udzubillah min dzalik.

Maka, dengan puasa inilah kita melatih jiwa kita agar terhindar dari hal-hal pengotor jiwa. Yang adalah pengotor jiwa itu sebenarnya merupakan dinding yang akan menutupi jiwa kita dari Al Quran, sehingga ajaran-ajaran Allah yang suci didalam Al Quran tidak sampai masuk kerelung jiwa dan mewujud kedalam sikap, ucap dan tindak sehari-hari. Dengan puasa inilah kita diperintahkan membuka lebar-lebar jiwa kita untuk menerima wahyu Allah yaitu Al Quran, dan menutupnya rapat-rapat dari bisikan syethan terkutuk.

Al Isra (17) : 45,

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا

Artinya: "Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat (wujud kekafiran kepada hari akhir adalah dengan membiarkan dirinya terkungkung dalam lembah syirk, nifaq dan pengabdian kepada berhala), suatu dinding yang tertutup."

bersambung...

Alhamdu lillahi Rabbi l 'Aalamiin.


Sumber : SKI
Lanjutkan Membaca ...