HATI-HATI 10 HAL PEMBATAL SYAHADAT

Allah telah mewajibkan bagi seluruh hambanya untuk masuk ke dalam Islam dan berpegang teguh dengan ajaran-Nya dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang darinya....

Mengenal dan Memahami Manusia dalam ISLAM

Inilah hal pertama yang harus kita pelajari dalam islam yaitu mengenal manusia, mengenal diri kita. Jika ada anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya,....

Trading Forex Modal Gratis 15$

Anda mudah dalam Membuka Account Live untuk transaksi real, tidak terbatas membuka akun demo sebagai sarana untuk menguji atau latian, berbagai jenis account forex...

Mengenal Al-Quran.

Al-Quran berasal dari kata : ?َ?? - ???? - ????? - ????? berarti bacaan. Al-Quran adalah Kalamullah yang mulia dan terpelihara

Mengenal Allah

Mengenal Allah SWT, adalah suatu bagian terpenting bagi seorang yang mendeklarasikan dirinya seorang Muslim. Manalah mungkin ia bisa mengatakan dengan lantang bahwa dirinya muslim, sementara ia tidak mengenal dan memahami Allah yang menjadi sembahannya.

Skenario Global Kehidupan Manusia

Kehidupan dibumi telah dilalui pada suatu masa yang penuh dengan kegelapan. Tidak ada toleransi dan persamaan hak diantara mereka. Pertumpahan darah dan permusuhan berlangsung sebagai suatu hal yang biasa.

Makna Dien-ul-Islam

Sesungghnya Islam itu dien samawi yang befungsi sebagai rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Din Islam memiliki nilai kesempurnaan yang tinggi, lagi pula sesuai dengan fitrah manusia dan cocok dengan tuntutan hati nuranimanusia seluruhnya sebagai makhluk ciptaan Allah dalam menerima Dinullah yang hak.

26 Agu 2011

Rute Busway Selama Libur Lebaran

Rute Busway Selama Libur Lebaran (Iedul Fitri) 1432 H, Unit Pengelola TransJakarta Busway mengadakan rute tambahan di beberapa koridor busway terutama koridor yang melewati objek wisata maupun pusat perbelanjaan. Rute layanan khusus ini berlaku mulai lebaran hari pertama sampai dengan 4 September 2011.
Setidaknya, TransJakarta Busway mengadakan delapan rute tambahan, yaitu Rute Blok M-Ancol pada 29-31 Agustus beroperasi mulai pukul 08.00-20.00 WIB, pada 1-4 September mulai pukul 07.00-21.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Pecenongan, Juanda, Pasar Baru Timur, Jembatan Merah, Mangga Dua, Pademangan dan Ancol. Demikian juga arah sebaliknya.
Rute Ragunan-Cililitan pada 1-4 September dimulai pukul 06.00-20.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Pancoran Barat, Pancoran Tugu, Tebet BKPM, Cikoko Stasiun Cawang, Cawang Ciliwung, BNN, Cawang UKI, PGC 2 dan Cililitan/PGC 1. Untuk rute ini, khusus di halte PGC 2 hanya menurunkan penumpang dan bagi penumpang yang menuju Ragunan dapat naik dari halte PGC 1.
Rute Pulo Gadung (koridor 2)-Ancol pada 1-4 September mulai pukul 07.00-21.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Budi Utomo, Pasar Baru Timur, Jembatan Merah, Mangga Dua, Pademangan dan Ancol. Rute Kalideres-Ancol pada 1-4 September dimulai pukul 07.00-21.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Harmoni, Pacenongan, Juanda, Pasar Baru Timur, Jembatan Merah, Mangga Dua, Pademangan dan Ancol.
Rute Pulogadung (koridor 4)-Ragunan pada 1-4 September mulai pukul 06.00-21.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Halimun, Setia Budi AINI, Kuningan Madya, Karet Kuningan, GOR Sumantri, Depkes, Patra Kuningan, Kuningan Timur, Mampang Prapatan, Duren Tiga, Imigrasi, Warung Jati, Buncit Indah, Jati Padang, SMK 57, Deptan dan Ragunan.
Rute Ragunan-Harmoni pada 1-3 September dimulai pukul 06.00-20.00 WIB. Halte yang disinggahi adalah Bundaran HI, Sarinah, Bank Indonesia, Monas dan Harmoni. Rute Ragunan-Grogol pada 1-4 September dimulai pukul 06.00-20.00 WIB.
Halte yang disinggahi adalah Jamsostek Gatot Subroto, LIPI, Gatot Subroto, Semanggi, JCC Senayan, Slipi Petamburan, Slipi Kemanggisan, RS Harapan Kita, Tomang Central Park dan Grogol 2. Rute Pluit-Ancol pada 1-4 September dimulai pukul 07.00-20.30 WIB. Halte yang disinggahi adalah Harmoni, Pecenongan, Juanda, Ps.Baru, Pasar Baru Timur, Jembatan Merah, Mangga Dua, Pademangan dan Ancol.
Rute layanan khusus ini diadakan untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah penumpang di halte transit Dukuh Atas 2 dan Matraman yang akan menuju tempat wisata Ancol dan Ragunan. Lonjakan penumpang bisa mencapai 20 persen-30 persen dari kondisi normal. "Rute layanan khusus lebaran ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada masyarakat Jakarta yang ingin berlibur ke Ancol dan Ragunan," kata Kepala UP Transjakarta M. Akbar.
Ia mengatakan, pihaknya selalu mengevaluasi setiap perkembangan di lapangan, termasuk evaluasi terhadap tingkat kepadatan penumpang di setiap halte, khususnya di halte transit.
Pengaturan Lalu Lintas di Ragunan


Pengalaman setiap lebaran tahun sebelumnya situasi lalu lintas yang mengarah ke Ragunan selalu dipadati pengunjung, akibatnya lalu lintas macet total. Biasanya situasi ini terjadi pada lebaran hari ke-2 dan 3. Untuk mengatasi kemacetan ini, pihak Polisi lalu lintas memberlakukan jalur satu arah mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB dari perempatan traffic light Departemen Pertanian sampai pintu masuk Ragunan.
Sebaliknya, pengaturan lalu lintas satu jalur dari Ragunan yang mengarah perempatan traffic light Departemen Pertanian diberlakukan mulai pukul 14.00-18.00 WIB. Namun demikian, pemberlakuan satu jalur ini sifatnya situasional, tergantung kondisi di lapangan.
Jika pengaturan lalu lintas satu jalur diberlakukan maka Bus Transjakarta tidak dapat melintasi halte Departemen Pertanian dan Ragunan. Oleh karena itu, pelayanan penumpang yang mengarah ke kedua halte tersebut hanya sampai halte SMK 57.
Bus Tansjakarta yang seharusnya menuju Ragunan, dialihkan melalui perempatan traffic light Departemen Pertanian, belok kanan ke Jalan TB Simatupang kemudian berputar balik di putaran Trakindo kembali menuju halte SMK 57 selanjutnya menuju Dukuh Atas 2.
Dengan demikian pada saat pemberlakuan satu jalur ini, loket penjualan tiket di halte Ragunan dan Departemen Pertanian ditutup sementra dan dialihkan ke SMK 57.


Sumber: republika.com
Lanjutkan Membaca ...

23 Agu 2011

Prof. James D. Frankel: Muallafnya seorang prof. perbandingan Agama

Prof. James D. Frankel
James D. Frankel adalah seorang profesor bidang perbandingan agama dan sekarang mengajar di Universitas Hawai. Di universitas itu, Frankel juga mengajar mata kuliah tentang Islam dan ia sendiri adalah seorang mualaf.

Dari kediamannya di Honolulu, Hawai, Profesor Frankel berbagi cerita tentang perjalanannya menjadi seorang muslim.

Sebelum pindah ke Hawai dua tahun yang lalu, Frankel menetap di New York, kota tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Frankel tumbuh dalam lingkungan keluarga bahagia. Orang tuanya tidak menerapkan ajaran agama tertentu dan hanya menanamkan nilai-nilai moral, meski sebenarnya keluarga Frankel memiliki latar belakang Yahudi.

Satu-satunya koneksi yang pernah menghubungkannya dengan soal agama adalah nenek dari pihak ayahnya, yang masih menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi. Dari neneknya itulah, Frankel belajar sedikit tentang kisah-kisah dalam alkitab dan kisah-kisah nabi.

Orang tua Frankel pernah mengirimnya ke sekolah Yahudi agar Frankel bisa belajar banyak tentang agama Yahudi. Tapi itu tidak berlangsung lama karena Frankel merasa tidak nyaman di sekolah itu, dan sebenarnya ia dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak bertanya.

"Mungkin itu sudah karakter saya. Sampai sekarang, sebagai seorang muslim dan seorang prfesor, saya tetap jadi orang yang banyak tanya," ujar Frankel.

Jadilah ia tumbuh remaja tanpa basis ajaran agaman apapun. Di usia remaja, Frankel punya dua pengalaman yang menurutnya menjadi pengalaman hidup yang penting. Pada usia 13 tahun, Frankel membaca manifesto Karl Marx dan ketika itu ia memutuskan untuk menjadi seorang komunis. Ia terkesan dengan filosofi komunis yang menurutnya bisa menyejahterakan semua orang.

Pada usia itu juga, Frankel merasa untuk pertama kalinya mulai mendengar tentang agama Islam. Karena sekolah di sekolah internasional, Frankel punya teman dari berbagai negara. Salah satu teman baik Frankel saat itu seorang siswa muslim asal Pakistan. Temannya itu memberikan Al-Quran dan ingin Frankel membacanya.
"Saya tidak mau kamu masuk neraka," ujar Frankel menirukan ucapan temannya saat memberikan Al-Quran.

Frankel mengatakan, selama hidupnya ia tidak pernah memikirkan soal neraka. Ia hanya menerima Al-Quran itu dan menyimpannya di rak buku selama bertahun-tahun. Frankel tidak pernah membuka-bukanya.

Beberapa tahun kemudian, Frankel menjadi ragu dengan komunisme yang dianutnya setelah melihat bagaimana prinsip komunisme di praktekkan di banyak negara. Ia lalu memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang komunis.

Frankel mengungkapkan, sejak kecil sebenarnya ia sudah memikirkan tentang apa makna hidup ini sesungguhnya; mengapa ia ada di dunia ini, kemana ia akan menuju dan mengapa ada orang yang menderita. Tapi pikiran-pikiran hanya mengendap di kepalanya, hingga beranjak dewasa dan kuliah, Frankel hanya memfokuskan aktivitasnya pada belajar. Hingga ia mengalami hal yang akan membawa perubahan padanya, kematian nenek dimana Frankel pernah belajar tentang Alkitab dan kisah nabi-nabi.

Kematian Nenek yang Mendadak

Pengalaman ini menggetarkan hati Frankel. Betapa tidak, sehari sebelum ia menerima kabar kematian sang nenek, Frankel dan neneknya sempat menikmati makam malam. Waktu itu, Frankel masih mahasiswa dan tinggal di Washington DC, ia mendapat kejutan berupa kunjungan nenek, bibi dan seorang sepupunya.

Frankel menghabiskan waktu sepanjang sore berbincang-bincang dengan neneknya. Frankel menceritakan keinginannya untuk pindah kuliah dan memperdalam studi tentang China. Malamnya, Frankel, nenek, bibi dan sepupunya pergi keluar untuk makam malam. Frankel tidak melihat tanda-tanda bahwa itulah malam terakhir ia bertemu dengan neneknya. Setelah makan malam, Frankel diantar pulang ke asrama.

Pagi dinihari, Frankel dikejutkan oleh dering telepon dari sepupunya, mengabarkan bahwa nenek meninggal dunia. Franke kaget dan tak percaya. Sepupunya bilang, nenek terkena serangan jantung saat tidur. Frankel langsung terbayang kembali pertemuan dengan neneknya semalam, ia tak menyangka neneknya akan "pergi" secepat ini.

Frankel pulang ke New York untuk menghadiri pemakaman neneknya. Pemakaman dilakukan dengan tradisi Yahudi. Pada Rabbi yang memimpin pemakaman, Frankel menanyakan tentang tradisi yang dilakukan keluarga Yahudi saat salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Ia menanyakan, mengapa saat pemakaman, Rabbi mengatakan bahwa nenek sudah diambil kembali oleh Tuhan.

"Lalu dimana nenek sekarang? Setelah diambil Tuhan, kemana nenek pergi? kemana kita juga akan pergi, dan mengapa kita ada di dunia ini," tanya Frankel pada Rabbi ketika itu.
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, sang Rabbi, ungkap Frankel, melihat jam tangannya dan berkata, "Saya harus pergi" tanpa memedulikan betapa marahnya Frankel mengalami hal semacam itu, pertanyaan-pertanyaannya sama sekali tak dijawab.

Mencari Kebenaran

Frankel mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Saat itu, usia Frankel masih 19 tahun. Ia mengunjungi komunitas Yahudi, tapi jawaban yang diberikan tidak memuaskannya. Orang-orang Yahudi itu mengatakan, Tuhan--yang ingin diketahui Frankel--adalah satu-satunya Tuhan milik orang Yahudi.

Akhirnya, Frankel memutuskan untuk belajar sendiri. Ia mulai membaca isi Alkitab. Saat berkunjung ke Inggris, ia didekati oleh sejumlah orang penganut Kristen Evangelis. Tentu saja orang-orang itu ingin menarik Frankel sebagai penganut Kristen Evangelis, dan Frankel berpikir untuk mencobanya.

Saat membaca Alkitab, Frankel merasakan cinta yang kuat dan penghormatan terhadap Yesus. Tapi yang tidak bisa diterimanya, Alkitab menyuruhnya menerima Yesus sebagai Tuhan dan penyelamatnya. Bagi Frankel, Yesus tidak lebih seperti kakak kesayangan atau seperti seorang guru. Lagi-lagi Frankel merasa tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya tentang ketuhanan.

Frankel kembali mempelajari hal-hal lainnya, mulai dari filosofi agama Budha, filosofi Yunani, Romawi dan sejarah. Tapi semuanya belum menjawab pertanyaan Frankel. Saat kembali ke New York dari Inggris, Frankel bertemu dengan beragam pemuka agama. Ia mencoba berdiskusi dengan mereka soal agama, meski ia sendiri skeptis.

Interaksi dengan Al-Quran dan Menjadi Muslim

Interaksinya pertama Frankel dengan Quran berawal ketika ia bertemu dengan para aktivis Nation of Islam. Salah seorang diantara aktivis itu memberinya salinan Surat Al-Kahf beserta terjemahannya. Frankel membawa salinan salah satu surah dalam Quran itu ke rumah, dan ia teringat akan Al-Quran yang pernah diberikan temannya enam tahun yang lalu.

Frankel mulai membaca isi Al-Quran lembar demi lembar. Frankel merasakan sesuatu yang berbeda dibandingkan ketika ia membaca Alkitab. Membaca Quran, Frankel merasa Tuhan sedang bicara langsung padanya. Di satu titik, Frankel pernah sampai meneteskan air mata, merinding, ia merasa bulu kuduknya berdiri, saat membaca isi Al-Quran.

Januari 1990, Frankel bertemu dengan teman-temannya semasa sekolah menengah. Mereka minum kopi sambil berbincang menanyakan kabar masing-masing. Seorang teman yang tahu bahwa dulu Frankel adalah seorang komunis bertanya, "Apa yang kamu yakini sekarang?" dan spontan Frankel menjawab, "Yah, saya percaya pada Tuhan. Hanya ada satu Tuhan."

Jawaban itu tentu saja membuat teman-temannya terpana. Mereka bertanya, darimana Frankel tahu bahwa Tuhan itu satu. Frankel menjawab, ia tahu dari Al-Quran. Salah seorang temannya yang muslim menanyakan apakah Frankel membaca Quran, dan oleh sebab itu, Frankel pun harus percaya bahwa Quran adalah pesan-pesan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Frankel menjawab "ya", ia percaya Muhammad utusan Allah. Temannya lalu mengatakan, maka Frankel sudah menjadi seorang muslim.

Frankel hanya tertawa mendengar perkataan temannya yang asal Pakistan itu. "Saya seorang muslim? Kamu yang muslim, kamu dari Pakistan. Saya cuma orang yang percaya pada Tuhan," tukas Frankel.

Tapi temannya bersikeras, "Tidak, kamu adalah seorang muslim. Kamu percaya tidak ada Tuhan selain Tuhan yang satu dan percaya bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Maka, kamu adalah seorang muslim."

Frankel syok mendengar perkataan sahabatnya itu.

Selama beberapa hari kemudian, ia memikirkannya. Frankel memutuskan untuk menelpon Mansour, teman yang dulu memberinya Al-Quran. Mansour kuliah di Pennsylvania dan bekerja di Asosiasi Mahasiswa Muslim di sana. Frankel meminta Mansour mengirimkan literatur-literatur tentang Islam dan persyaratan untuk menjadi seorang muslim.
Mansour mengiriminya sekira dua buku.

Dari buku-buku itu, Frankel membaca tentang rukum Islam, bagaimana caranya salat, wudu dan ucapan dua kalimat syahadat.

Frankel mulai mempraktekkan salat diam-diam di kamarnya--karena waktu itu ia sudah tinggal lagi dengan orang tuanya--bahkan untuk pertama kalinya ia ikut berpuasa di bulan Ramadan. Kondisi itu berlangsung hampir 8 bulan, dan itulah kehidupan pertamanya sebagai muslim.

Frankel tak bisa menyembunyikan keinginannya lagi. Ia menceritakan semua pada orang tuanya bahwa ia ingin menjadi seorang muslim. Ibunya bereaksi keras, menangis dan menanyakan mengapa semua ini bisa terjadi.

Hubungan Frankel dengan kedua orang tuanya jadi kaku. Frankel mencoba meyakinkan ayah ibunya bahwa ia menjadi mahasiswa dan manusia yang lebih baik setelah memeluk Islam.

"Alhamdulillah, kedua orang tua saya akhirnya menerima keislaman saya. Buat saya, ini adalah perjalanan selama hampir 20 tahun dan hanya Allah yang tahu, bagaimana dan kemana semua ini akan berakhir," ujar Frankel.

"Maka pesan saya bagi para mualaf maupun mereka yang sudah lama menjadi muslim, untuk selalu bersabar dan lihatlah kejutan yang akan diberikan Allah pada kita, bukan dengan ketakutan tapi dengan cinta dan harapan," tukas Frankel. (kw/oi)


sumber: eramuslim.com
Lanjutkan Membaca ...

22 Agu 2011

MALIK BIN ANAS - IMAM DAR AL-HIJRAH

Imam Malik bagaikan bintang bagi ulama-ulama hadits, pewaris ilmu Nabi dan penjaga sunan yang ada di Madinah. Imam Adz-Dzahabi berkata, "Imam Malik merupakan pimpinan orang-orang salaf dan tokoh ulama yang mempunyai sifat-sifat menonjol seperti rasa malu, berparas tampan, hamba yang giat, rumah tangganya membanggakan, banyak dikaruniai nikmat dan mempunyai derajat yang tinggi di dunia dan akhirat. Imam Malik mau menerima hadiah, memakan makanan yang halal dan mengerjakan pekerjaan yang baik."'

Abu Mush'ab berkata, "Pada suatu hari orang-orang berdesak-desakan di pintu rumah Malik, karena banyaknya orang, mereka saling dorong-mendorong. Sedang kami bersamanya dan dia tidak berbicara sesuatu apapun atau menoleh ke suatu arah tertentu. Orang-orang mendongakkan kepalanya agar bisa melihat Malik, menanyakan sesuatu kepadanya dan mendengarkan pembicaraannya. Dan dia hanya menjawab, "Tidak atau ya." Meski begitu, tidak ada seorang pun yang menanyakan dasar jawabannya itu."

Mempelajari biografi Imam Malik akan mengetahui sebab-sebab yang menjadikannya orang besar dan terhormat, sebagaimana dari serial sejarah biografi ulama-ulama salaf yang lain.

Sesungguhnya Malik sangat menghormati hadits, jika dia ingin membicarakannya, maka dia mandi terlebih dahulu, memakai wangi-wangian, merapikan jenggotnya, duduk dengan baik, dan dia tidak akan berhenti berbicara kecuali pembahasannya telah selesai.

Benarlah ucapan yang mengatakan, "Barangsiapa memuliakan agama Allah, maka Dia akan memuliakannya, dan barangsiapa menolong agama Allah maka Dia akan menolongnya." Allah telah berfirman, "Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya." (Al-Hajj: 40)

Karena ayat di atas inilah, maka Malik sangat giat dalam menolong Sunnah dan memerangi orang-orang yang menuruti hawa nafsunya dan berbuat bid'ah.

Dan karena ayat di atas, dia juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Malik tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang bisa dipercaya dan orang yang sudah dikenal dengan periwayatannya bahwa dia adalah ahli hadits.

Malik pernah berkata, "Tidak akan diterima ilmu yang berasal dari empat orang, yaitu orang yang suka menumpahkan darah dan dia merasa bangga dengan tindakannya itu, meskipun banyak orang yang meriwayatkan darinya; orang yang berlaku bid'ah dan mengajak kepada orang lain; dari orang yang mendustakan hadits kepada orang-orang; dan dari orang yang saleh yang banyak melakukan ibadah dan mempunyai kehormatan, namun dia tidak hafal terhadap hadits yang dibicarakan."

Ibnu Abi Hatim berkata, "Malik adalah orang pertama yang membersihkan ulama-ulama fikih yang ada di Madinah dari berbagai celaan. Malik juga menunjukan orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits shahih dan tidak mau membicarakan hadits kecuali hadits itu diriwayatkan dari perawi yang bisa dipercaya, mempunyai pengetahuan ilmu fikih, pandai ilmu agama, mulia dan taat beribadah."

Dari sinilah diketahui bahwa sanad yang paling shahih adalah sanad dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar. Dan kitab yang paling shahih dalam meriwayatkan hadits pada zamannya adalah Al-Muwaththa' karangan Imam Malik, sebagaimana dikatakan Imam Asy-Syafi'i sebelum munculnya kitab Shahihain.

Semoga Allah mengampuninya dan mengampuni kita semua dan memasukan ke dalam surga-Nya yang tinggi. Amin.

1. Nama, Kelahiran dan Sifat-sifatnya

Nama Lengkapnya: Adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Al-Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin Al-Harits Al-Ashbahi Al-Humairi, Abu Abdillah Al-Madani dan merupakan Imam Dar Al-Hijrah. Nenek moyang mereka berasal dari Bani Tamim bin Murrah dari suku Quraisy. Malik adalah sahabat Utsman bin Ubaidillah At-Taimi, saudara Thalhah bin Ubaidillah."

Kelahirannya: Adz-Dzahabi berkata, "Menurut pendapat yang lebih shahih, Imam Malik lahir pada tahun 93 Hijriyah, yaitu pada tahun dimana Anas bin Malik, pembantu Rasulullah, meninggal. Malik tumbuh di dalam keluarga yang bahagia dan berkecukupan."

Sifat-sifatnya: Dari Mathraf bin Abdillah, dia berkata, "Malik bin Anas mempunyai perawakan tinggi, ukuran kepalanya besar dan botak, rambut kepala dan jenggotnya putih, sedang kulitnya sangat putih hingga kelihatan agak pirang."

Dari Isa bin Umar Al-Madani, dia berkata, "Aku tidak pernah melihat ada orang yang mempunyai kulit putih dan mempunyai wajah yang kemerah-merahan, sebagus yang dimiliki Malik, dan aku tidak melihat pakaian yang lebih putih dari pakaian yang dikenakan Malik."

Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku tidak melihat ada orang yang lebih mulia dari Malik, dan aku tidak melihat ada orang yang lebih sempurna akal dan ketakwaannya dari Malik."

2. Mulai Menuntut Ilmu dan Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Adz-Dzahabi berkata, "Malik mulai menuntut ilmu ketika umurnya menginjak belasan tahun, sedang Malik mulai memberikan fatwa dan memberikan keterangan tentang hukum ketika umurnya 21 tahun. Dan, orang-orang telah mengambil hadits darinya di saat dia masih muda belia. Orang-orang dari berbagai penjuru sudah mulai menuntut ilmu kepadanya sejak pada akhir kekuasaan Abu Ja'far Al-Manshur. Dan orang-orang mulai ramai menuntut ilmu kepadanya ketika pada zaman khalifah Ar-Rasyid sampai Malik meninggal."

Dari Abdullah bin Al-Mubarak, dia berkata, "Aku tidak melihat ada orang yang mempunyai perawakan tinggi seperti Malik bin Anas, dia tidak banyak melakukan shalat dan puasa, namun dia mempunyai jiwa yang luhur."

Abdullah bin Ahmad berkata, "Aku bertanya kepada Ayahku, "Di antara sahabat-sahabat Az-Zuhri, siapakah yang paling shahih haditsnya?" Ayahku menjawab "Malik lebih shahih dalam semua hal."

Asy-Syafi'i juga berkata "Jika menyebut tentang para ulama, maka Malik adalah bintangnya."

Dari Ibnu 'Uyainah, dia berkata, "Malik adalah cendekiawannya penduduk Hijaz dan hujjah pada zamannya."

Adz-Dzahabi berkata, "Cendekiawan yang ada di Madinah setelah Rasulullah saw dan para sahabatnya adalah Zaid bin Tsabit, Aisyah, lbnu Umar, Said bin Musayyab, Az-Zuhri, Ubaidillah bin Umar kemudian Malik."

Adz-Dzahabi berkata demikian karena setelah periode generasi Tabi'in, tidak ada orang yang bisa menyamai keunggulan Malik, baik dalam hal ilmu pengetahuan, ilmu fikih, kemuliaan dan kekuatan hafalan.

Padahal, pada periode itu ada orang-orang besar seperti Said bin Musayyib, ulama fikih yang berjumlah tujuh, Qasim, Salim, Ikrimah, Nafi' dan orang-orang yang hidup sezaman dengannya. Kemudian ada Zaid bin Aslam, Ibnu Syihab, Abu Az-Zinad, Yahya bin Said, Shafwan bin Sulaim, Rabi'ah bin Abi Abdurrahman dan orang-orang yang sezaman dengannya, namun ketika mereka dipertemukan maka yang akan muncul dan unggul adalah Malik.

Dan di antara mereka juga ada Ibnu Abi Dza'ab, Abdul Aziz bin Al-Majisyun, Fulaih bin Sulaiman, Ad-Darawardi dan orang-orang yang hidup sezaman dengannya, dan jika mereka semua di pertemukan maka secara mutlak Malik-lah yang lebih unggul."

Ibnu Mahdi berkata, "Tokoh-tokoh ulama pada zamannya ada empat orang, mereka adalah Ats-Tsauri, Malik, Al-Auza'i dan Hammad bin Zaid. Dan aku tidak melihat ada orang yang lebih pandai dari Malik."

Al-Waqidi berkata, "Di rumah Malik tersedia tempat yang biasa digunakan untuk membicarakan hadits, tempat itu bisa digunakan untuk berbaring dan bersandar, tempat itu terbentang luas ke kanan dan ke kiri. Tempat itu merupakan tempat yang nyaman dan tenang.

Dan, Malik seorang yang mulia dan terhormat, tidak ditemukan keraguan dan kesalahan dari ucapan-ucapannya, banyak orang yang bertanya tentang hadits kepadanya silih berganti. Sebagian dari mereka ada yang meminta izin untuk membacakan hadits kepadanya, sedang di samping Malik selalu ada seseorang yang bernama Habib yang selalu menulis hadits darinya dan membacakannya kepada orang-orang yang datang. Dan jika Malik melakukan kesalahan maka orang yang menulis itu akan membukakan untuknya, dan kesalahan yang dilakukan Malik ini sangat jarang terjadi."

Dari Baqiyah, dia telah berkata kepada Malik, "Tidak ada orang yang tinggal di bumi ini yang lebih banyak ilmunya tentang Sunnah yang melebihi kamu, wahai Malik."

3. Kemuliaan Jiwanya dan Penghormatannya Terhadap Hadits

Dari Ibnu Abi Uwais, dia berkata, "Jika Malik ingin menceritakan sebuah hadits, maka dia berwudhu terlebih dahulu, merapikan jenggotnya, duduk dengan tenang dan sopan, kemudian dia baru berbicara.

Seseorang bertanya tentang hal itu kepadanya, Malik menjawab, "Aku ingin memuliakan Hadits Rasulullah, dan aku tidak mau menceritakan suatu hadits kecuali aku dalam keadaan suci dan tenang." Malik tidak suka berbicara di jalan, sedang dia dalam keadaan berdiri atau sedang tergesa-gesa, dia telah berkata, "Aku ingin orang-orang faham terhadap apa yang aku sampaikan tentang hadits dari Rasulullah."

Dari Ma'an bin Isa, dia berkata, "Jika Malik bin Anas ingin menceritakan sebuah hadits maka dia mandi terlebih dahulu, memakai wangi-wangian. Dan jika ada orang yang mengeraskan suara pada majelisnya, maka dia akan memarahinya, dia telah berkata, "Allah telah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi dari suara Nabi." (Al-Hujurat: 2)

Maksud dari ayat di atas adalah barangsiapa meninggikan suara ketika hadits Nabi sedang dibacakan, maka dia seperti meninggikan suaranya atas suara Nabi kelika beliau masih hidup."

Dari Umar bin Al-Mihbar Ar-Ra'ini, dia berkata, "Setelah Al-Mahdi datang ke Madinah, dia mengutus seseorang untuk mendatangkan Malik, dan Malik-pun datang memenuhi panggilannya. Al-Mahdi berkata kepada Harun dan Musa, "Perdengarkan suatu hadits dari Malik."

Maka, kedua orang ini mendatangi Malik, namun Malik tidak mau menjawab, namun setelah kedua orang itu memberitahukan kepada Malik tentang siapa jati diri Al-Mahdi, maka Malik berkata kepada Al-Mahdi, "Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu diberikan kepada orang yang sudah ahlinya." Amirul Mukminin berkata, "Telah benar perkataan Malik, ikutilah dia." Mereka pun mengikuti perkataan Malik.

Seorang guru kerajaan berkata kepada Malik, "Bacakanlah suatu hadits untuk kami." Malik menjawab, "Sesungguhnya, di Madinah murid-muridnya yang membacakan kepada gurunya, sebagaimana seorang anak yang belajar membacakan kepada gurunya, jika mereka bersalah maka sang guru akan membenarkannya."

Maka orang-orang meminta pendapat Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi mempersilahkan Malik untuk melanjutkan berbicara, Imam Malik berkata, "Aku mendengar Ibnu Syihab berkata, "Kami mengumpulkan ilmu ini kepada sekelompok orang." Malik menambahkan, "Wahai Amirul Mukminin, mereka adalah Said bin Musayyib, Abu Salamah, Urwah, Al-Qasim, Salim, Kharijah bin Zaid, Sulaiman bin Yasar, Nafi', Abdurrahman bin Hurmuz, dan orang-orang setelah generasi mereka adalah Abu Az-Zinad, Rabi'ah, Yahya bin Said dan Ibnu Syihab."

Mereka semua membacakan hadits-hadits kepada sebagian yang lain. Amirul Mukminin berkata, "Pada diri mereka terdapat suritauladan, maka bacakan kepadanya", dan mereka pun melakukannya.

Dari Ibnu Qasim, dia berkata, "Ada seseorang berkata kepada Malik, "Kenapa kamu tidak mengambil hadits dari Amr bin Dinar?" Dia menjawab, "Ketika orang-orang datang kepadanya aku menemukan mereka mengambil hadits darinya sementara dia sedang berdiri. Aku menghormati hadits Rasulullah saw dan aku tidak menyukai seseorang yang meriwayatkan hadits dalam keadaan berdiri."

4. Kehati-hatiannya dalam Meriwayatkan Hadits dan Keberaniannya dalam Mengkritik Orang-orang yang Meriwayatkannya

Dari Manshur bin Salamah Al-Khaza'i, dia berkata, "Ketika aku bersama Malik, ada seseorang berkata kepadanya, "Wahai Abu Abdillah, aku telah mengikuti majelis taklim di rumahmu selama tujuh puluh hari, dan aku telah menulis enam puluh hadits." Malik berkata, "Enam puluh hadits!" Dia kaget, karena merasa bahwa jumlah tersebut sangatlah banyak."

Seseorang berkata kepada Malik, "Ketika di Kufah kami bisa menulis enam puluh hadits." Dia berkata, "Sedang di Irak kamu tidak akan bisa menulis sebanyak itu, karena pada siang hari sibuk mencari rezeki, dan pada malam hari sibuk mencari ilmu."

Dari Muhammad bin Ishaq Ats-Tsaqafi As-Siraj, dia berkata, "Aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari tentang sanad yang paling shahih." Dia menjawab, "Sanad yang paling shahih adalah dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar."

Dari Sufyan bin 'Uyainah, dia berkata, "Tidak ada orang yang lebih keras dalam mengkritik perawi-perawi hadits dari Malik, dan dia adalah orang yang paling mengetahui tentang syarat-syarat perawi."

Adz-Dzahabi berkata, "Malik adalah pimpinan orang-orang yang gemar meneliti para perawi, dan dia mempunyai hafalan yang kuat, fasih dalam ucapan dan mempunyai keyakinan tinggi."

Bisyr bin Umar Az-Zahrani berkata, "Aku bertanya kepada Malik tentang seorang perawi, dia tidak menjawab, namun balik bertanya, "Apakah kamu melihat perawi itu ada dalam kitabku?" Aku menjawab, "Tidak.'' Malik berkata, "Jika dia seorang perawi yang bisa dipercaya, maka akan menemukannya dalam kitabku."

Adz Dzahabi berkata, "Perkataan di atas memberikan pengertian bahwa Malik tidak meriwayatkan kecuali dari seorang perawi yang menurut dia dapat dipercaya.

Keterangan ini juga tidak mengharuskan bahwa semua perawi harus dari orang yang dapat dipercaya, dan tidak mengharuskan juga bahwa semua perawi yang meriwayatkan hadits dari Malik adalah perawi yang bisa dipercaya.

Karena, bisa saja menurut pendapat Malik, perawi itu adalah tidak bias dipercaya, namun menurut orang lain perawi itu bisa dipercaya. Terkadang Malik tidak mengetahui keadaan perawi, sedang orang lain mengetahuinya. Namun bagaimanapun Malik adalah orang yang keras dalam mengkritik para perawi."

Dari Utsman bin Kinanah bahwa Malik telah berkata, "Kadang dalam sebuah majelis ada seorang guru yang menerangkan beberapa hadits dengan jelas, namun aku tidak mengambil darinya satu hadits pun, aku tidak menuduhnya terhadap hadits yang dikatakannya, hanya saja dia bukan ahli hadits."

Dari 'Uyainah, dia berkata, "Dalam suatu majelis kami tidak berada di samping Malik, namun kami selalu melihat dan mengikuti setiap geraknya, jika Malik menulis dari guru yang sedang bercerita tentang hadits maka kami ikut menulisnya."

Masih dari Ibnu 'Uyainah, dia berkata, "Malik tidak menyampaikan sebuah hadits kecuali hadits shahih, dia tidak membicarakan suatu hadits kecuali dari orang yang bisa dipercaya. Dan aku tidak menyadari keagungan kota Madinah kecuali setelah meninggalnya Malik bersama ilmu-ilmunya."

Asy-Syafi'i berkata, "Muhammad bin Al-Hasan berkata, "Aku telah bersama Malik selama lebih dari tiga tahun, dan aku mendengar hadits darinya lebih dari 700 hadits." Kemudian Asy-Syafi'i berkata, "Jika Muhammad bin Al-Hasan membicarakan tentang Malik, maka rumahnya menjadi penuh dengan orang-orang yang mau mendengarkan sejarah biografi Malik, dan jika dia membicarakan selain Malik dari ulama-ulama Kufah, maka tidak ada yang datang kecuali hanya sedikit."

Dari Muhammad bin Ar-Rabi' bin Sulaiman, dia berkata, "Aku mendengar Asy-Syafi'i berkata, "Jika hadits itu berasal dari Malik, maka pegang teguhlah."

Dari Muhammad bin Ar-Rabi' dari Asy-Syafi'i, dia berkata, "Jika Malik meragukan terhadap sebuah hadits, maka dia akan membahasnya dengan tuntas."

Dari Habib bin Zuraik, dia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Malik, "Kenapa kamu tidak menulis hadits dari Shaleh budak At-Tauamah, Hizam bin Utsman dan Umar budak Ghufrah?" Malik menjawab, "Aku telah mengetahui 70 orang dari generasi Tabi'in dalam masjid ini, dan aku tidak mengambil hadits-hadits mereka, kecuali dari orang-orang yang dapat dipercaya."

5. Menjauhkan Diri dari Memberi Fatwa

Dari Malik, dia berkata, "Perisai orang alim adalah "Aku tidak mengetahui", dan jika dia melupakannya maka dia akan terluka."

Dari Al-Haitsam bin Jamil, dia berkata, "Aku mendengar Malik ditanya empat puluh delapan masalah, dan dia menjawab yang tiga puluh dua pertanyaan dengan jawaban "Aku tidak mengetahui"."

Dari Khalid bin Khaddasy, dia berkata, "Aku mengajukan pertanyaan kepada Malik sebanyak empat puluh pertanyaan, dan dia tidak menjawab kecuali hanya lima dari pertanyaan itu."

Dari Malik bahwa dia mendengar Abdullah bin Yazid telah berkata, "Hendaknya seorang guru meninggalkan majelisnya dengan perkataan "Aku tidak mengetahui" sehingga jawaban ini akan menimbulkan kerisauan di hati para murid agar lebih bersungguh-sungguh memperdalam ilmunya."

Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Aku melihat seseorang bertanya kepada Malik tentang sesuatu, namun sampai beberapa hari Malik tidak mau menjawab. Orang itu berkata, "Ya Abu Abdullah, aku ingin pergi." Abdurrahman berkata, "Malik menunduk lama kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, "Masyaallah, wahai pertanyaan ini, seandainya aku bisa menjawabnya maka aku akan mendapat kebaikan."

Dari Abdurrahman bin Mahdi, dia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Malik tentang suatu masalah, namun Malik menjawabnya dengan, "Aku tidak bisa menjawabnya dengan baik." Sehingga orang yang bertanya itu berkata kepadanya, "Aku telah datang kepadamu dari tempat yang jauh untuk bertanya kepadamu." Maka Malik berkata kepada orang tersebut, "Jika kamu kembali ke tempatmu, maka katakan kepada mereka bahwa aku telah menjawab pertanyaannya dengan jawaban, "Aku tidak bisa menjawabnya dengan baik."

Dari Said bin Sulaiman, dia berkata, "Setiap aku mendengar Malik memberikan fatwa terhadap suatu masalah, maka aku selalu mendengar dia membacakan ayat, "Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakininya." (Al-Jatsiyah: 32)

Dari Amr bin Yazid, guru besar penduduk Mesir dan teman Malik bin Anas, dia berkata, "Aku telah berkata kepada Malik, "Wahai Abu Abdillah, orang-orang dari berbagai penjuru daerah telah datang, mereka menggunakan kuda dan perbekalan mereka untuk bertanya kepadamu terhadap sesuatu yang Allah telah karuniakan kepadamu, sedang kamu menjawab "Aku tidak mengetahuinya".

Mendengar itu, Malik menjawab, "Wahai Abdullah, telah dating kepadaku orang-orang dari Syam, orang-orang dari Irak dan orang-orang dari Mesir, mereka bertanya kepadaku tentang sesuatu, kadang aku tidak menemukan jawaban yang harus aku katakan kepada mereka, darimana aku mendapatkan jawaban itu?"

Kemudian, Amr bin Yazid berkata, "Aku pun memberitahukan perkataan Malik tersebut kepada Al-Laits bin Sa'ad."

6. Usahanya Menolong Sunnah dan Menentang Ahlul Bid'ah

Dari Mathraf bin Abdillah, dia berkata, "Aku mendengar Malik pernah berkata, "Rasulullah saw telah menjadikan Sunnahnya agar diikuti orang-orang sesudahnya, sedang mengikuti Sunnah adalah perintah dari dari Kitabullah dan bentuk penyempurnaan ketaatan kepada Allah, serta memperkuat agama.

Tidak ada yang berhak merubah dan mengganti Sunnah, dan tidak boleh pula condong kepada suatu yang mengingkarinya. Barangsiapa menjadikan Sunnah sebagai petunjuk, maka dia akan mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa meminta pertolongan kepadanya, maka dia akan mendapat pertolongan.

Sedangkan, barangsiapa meninggalkan Sunnah dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, maka dia berpaling dari apa yang telah diwajibkan kepadanya. Dan, tempat orang yang meninggalkan Sunnah adalah di Neraka Jahanam, dan ini adalah sejelek-jelek tempat kembali."

Dari Yahya bin Khalaf Ath-Tharthusi, dia termasuk perawi yang bisa dipercaya, dia berkata, "Ketika aku bersama Malik, seseorang datang kepadanya dan bertanya, "Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu terhadap orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk?" Malik menjawab, "Dia adalah Kafir, dan bunuhlah dia." Orang itu berkata, "Wahai Abu Abdillah, aku akan menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang baru saja aku dengar darimu." Malik berkata, "Perkataan ini aku mendengarkan darimu, maka agungkanlah."

Abu Tsur bercerita dari Asy-Syafi'i, dia berkata, "Jika orang-orang yang menuruti hawa nafsunya datang kepada Malik, maka Malik akan berkata kepadanya, "Adapun aku telah berada pada keteguhan agamaku. Sedangkan kamu berada pada keragu-raguan, maka pergilah kepada orang-orang yang ragu-ragu sepertimu." Dan dia memusuhi mereka."

Al-Qadhi 'Iyadh berkata, "Abu Thalib Al-Makki pernah berkata, "Malik adalah orang yang paling membenci golongan Muatakallimin dan termasuk orang yang paling keras mengkritik ulama-ulama dari Irak."

Al-Qadhi 'Iyadh juga pernah berkata, "Sufyan bin 'Uyainah telah mengatakan, "Seseorang bertanya kepada Malik tentang firman Allah, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." (Thaha: 5)

Bagaimana Dia bersemanyam?" Malik terdiam, hingga keringat bercucuran keluar dari tubuhnya, kemudian berkata, "Bersemayam sudah maklum, bagaimana Dia bersemayam tidak bisa dinalar, pertanyaan seperti ini adalah bid'ah, iman kepadanya adalah wajib dan aku menduga kamu berada dalam kesesatan, maka keluarlah."

Orang tersebut berkata, "Wahai Abu Abdillah, sungguh, aku telah bertanya tentang permasalahan ini kepada orang-orang dari Bashrah, Kufah dan Irak, maka aku tidak menemukan seorang pun yang setuju dengan apa yang telah kamu katakan."

Dari Said bin Abdil Jabar, dia berkata, "Aku mendengar Malik berkata, "Pendapatku tentang golongan Qodariyah adalah hendaknya mereka diperintahkan untuk bertaubat. Jika mereka membangkang maka bunuhlah mereka."

Utsman bin Shaleh dan Ahmad bin Said Ad-Darami, mereka berkata, "Utsman pernah bercerita, "Seseorang bertanya kepada Malik tentang suatu masalah, maka Malik berkata kepadanya, "Rasulullah saw telah bersabda begini dan begitu!" Orang itu bertanya lagi, "Apa pendapatmu?" Malik berkata, "Allah telah berfirman, "Maka hendakla orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan dan ditimpa azab yang pedih." (An-Nur: 63)

Dari Abu Hafsh, dia berkata, "Aku mendengar Malik bin Anas berkata, "Allah berfirman, "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat." (Al-Qiyamah: 22-23)

Orang-orang membenarkan ucapan Malik, namun Malik berkata, "Dustakanlah, tidakkah kalian melihat firman Allah, "Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka." (Al-Muthaffifin: 15)

Malik berkata, "Aku tidak mengetahui ada seseorang yang mencaci sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam pembagian harta fa'i."

Dari Abdullah bin Umar bin Ar-Rammah, dia berkata, "Aku datang kepada Malik dan bertanya, "Wahai Abdullah, apa yang termasuk wajib dan Sunnah dalam shalat?" Malik berkata, "Ini adalah perkataan orang-orang kafir, keluarlah!"

7. Cobaan yang Menimpanya

Muhammad bin Jarir berkata, "Malik telah dicambuk dengan rotan, orang-orang berselisih pendapat tentang sebab kejadian tersebut."

Abbas bin Al-Walid bercerita kepada kami, dari Ibnu Dzikwan dari Marwan Ath-Thathari, dia berkata, "Sesungguhnya Abu Ja'far melarang Malik membicarakan hadits yang berbunyi, "Tidak ada thalak bagi orang yang sedang dipaksa."

Kemudian orang-orang yang bertanya itu menambah-nambahi keterangan dalam hadits tersebut, sehingga membuat penguasa menjadi marah, maka Malik dicambuk dengan rotan."

Dari Al-Fadhl bin Ziyad Al-Qaththan, dia berkata, "Aku bertanya kepada Ahmad bin Hambal, "Siapa yang mencambuk Malik bin Anas?" Dia menjawab, "Orang yang mencambuk Malik adalah seorang penguasa, aku tidak mengetahui siapa dia. Malik dicambuk karena keterangannya tentang thalaknya seseorang yang berada dalam paksaan, dan dia tidak mengakui thalaknya orang yang berada dalam paksaan, karena itulah Malik dicambuk."

Dari Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyad, dia berkata, "Aku mendengar Abu Dawud berkata, "Ja'far bin Sulaiman mencambuk Malik karena masalah thalak orang yang berada dalam paksaan."

Sebagian sahabat Ibnu Wahab menceritakan, "Setelah Malik bin Anas dicambuk, dia dinaikkan di atas keledai, seseorang berkata kepada Malik, "Tunjukkan dirimu, siapakah kamu?" Malik menjawab, "Ketahuilah, orang-orang yang mengenalku akan mengetahuiku, dan bagi orang yang tidak mengenalku, aku adalah Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi. Aku seperti ini karena aku mengatakan bahwa thalaknya orang yang berada dalam paksaan tidak jatuh." Kemudian orang itu mengetahui bahwa dia adalah Malik, lalu dia berkata kepada kaumnya, "Kenalilah dan turunkan dia dari keledai."

Diriwayatkan dari Ibnu Said dari Al-Waqidi, dia berkata, "Ketika Malik diundang dan diajak bermusyawarah, dan pendapatnya didengar serta diterima, maka ada juga orang yang hasad kepadanya, dan orang itu memfitnah dengan berbagai cara.

Sehingga, ketika Madinah dipegang oleh Ja'far bin Sulaiman, maka orang-orang yang hasad itu datang kepadanya dan mengatakan, "Tidak ada orang yang menjual iman seperti ini (thalak orang yang berada dalam paksaan), dia telah mengambil hadits yang diriwayatkan dari Tsabit bin Al-Ahnaf tentang thalak orang yang berada dalam paksaan atau tekanan, bahwa thalaknya tidak jatuh."

Al-Waqidi berkata, "Maka Ja'far menjadi marah dan mengundang Malik, maka terjadilah apa yang akan membuat derajatnya semakin tinggi. Ja'far memerintahkan untuk mencambuk dan menarik tangan Malik hingga telentang. Dan sungguh, setelah kejadian ini Malik senantiasa masih berada pada posisi yang terhormat dan luhur."

Adz-Dzahabi berkata, "Ini adalah buah dari cobaan yang terpuji, sesungguhnya Allah akan mengangkat hamba-Nya yang beriman, dan Dia akan memberi tempat kepada seseorang sesuai dengan apa yang telah dia kerjakan. Rasulullah saw telah bersabda, "Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Dia akan mengujinya." (HR. Al-Bukhari dan Malik)

Rasulullah saw juga telah bersabda, "Setiap keputusan Allah terhadap orang mukmin adalah kebaikan untuk dirinya." (HR. Muslim)

Allah juga telah berfirman, "Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu." (Muhammad: 31)

Dalam ayat yang lain, yaitu ketika terjadi Perang Uhud Allah berfirman, "Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah, "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Ali Imran: 165)

Allah juga telah berfirman, "Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura: 30)

Jika orang mukmin ditimpa musibah dan dia bisa bersabar, musibah itu dijadikannya sebagai pelajaran, kemudian mau meminta ampunan kepada Allah, tidak sibuk dengan penyesalan dan mendendam kepada orang yang membuat kegagalan, maka Allah akan memberikan keadilan-Nya. Allah akan memujinya atas kegigihannya dalam mempertahankan agamanya, sedang dia mengetahui bahwa siksa di dunia lebih ringan dari siksa di akhirat."

8. Beberapa Mutiara Perkataannya

Dari Ibnu Wahab, sesungguhnya dia mendengar dari Malik, dia berkata "Jika ada orang memuji dirinya sendiri, maka dia telah kehilangan kehormatannya."

Dari Harmalah dari lbnu Wahab, dia berkata, "Aku mendengar seseorang bertanya kepada Malik, "Apakah menuntut ilmu itu wajib?" Dia menjawab, "Mencari ilmu adalah perbuatan yang terpuji bagi mempunyai rezeki, dia adalah ketentuan dari Allah."

Malik pernah berkata, "Bukan seorang pemimpin jika dia mengatakan semua yang dia dengar."

Malik juga berkata, "Bagi orang yang menuntut ilmu dengan sebenar-benarnya, hendaknya dia merasa tenang, tentram dan takut hanya kepada Allah, dan hendaknya dia mengikuti perilaku ulama-ulama salaf yang saleh."

Al-Farwi berkata, "Aku mendengar Malik telah berkata, "Jika seseorang tidak bisa berlaku baik terhadap dirinya sendiri, maka dia tidak bisa berbuat baik terhadap orang lain."

Dari Ibnu Wahab dari Malik, dia berkata, "Seseorang tidak dikatakan zuhud terhadap masalah duniawi dan bertakwa kepada Allah, kecuali dia sudah mendalami tentang hikmah."

Adz-Dzahabi berkata, "Al-Hafidz bin Abdil Bar dalam kitab At-Tamhid mengatakan, "Buku ini adalah hasil tulisan tangan yang berasal dari ingatanku, tulisan aslinya yang ada padaku telah hilang.

Sesungguhnya Abdullah Al-Umri Al-Abid menulis sepucuk surat kepada Malik yang isinya mendorong untuk menyendiri dan banyak beramal kebaikan.

Maka, Malik membalas surat tersebut sebagai berikut, "Sesungguhnya Allah membagi amal seperti membagi rezeki, kadang dibukakan bagi seseorang untuk banyak melakukan shalat, dan tidak dibukakan baginya banyak melakukan puasa. Sebagian lagi, ada yang gemar mengeluarkan shadaqah, namun dia tidak gemar melakukan puasa, dan ada lagi orang yang suka melakukan jihad. Sesungguhnya menyebarkan ilmu adalah kebaikan yang paling utama. Aku telah rela dengan karunia Allah kepadaku, aku tidak menduga apa yang ada pada diriku tidak ada padamu, semoga kita berada dalam kebaikan."

Dari Khalid bin Nazzar, dia berkata, "Aku mendengar Malik bin Anas berkata kepada seorang pemuda dari suku Quraisy, "Wahai anak saudaraku, belajarlah sopan santun sebelum kamu belajar ilmu."

9. Guru dan Murid-muridnya

An-Nawawi berkata, "Al-Imam Abu Al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin Yasin Ad-Daulaqi dalam kitab Ar-Risalah Al-Mushannafah fi Bayani Subulissunnah Al-Musyarrafah berkata, "Malik mengambil hadits dari sembilan ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi'in dan enam ratus orang dari generasi Tabi' Tabi'in.

Guru Malik adalah orang-orang yang dia pilih, dan pilihan Malik didasarkan pada ketaatannya beragama, ilmu fikihnya, cara meriwayatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Malik meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka mendamaikan yang mana riwayat-riwayat mereka tidak dikenal."

Adz-Dzahabi berkata, "Untuk pertama kalinya Malik mencari ilmu pada tahun 120 Hijriyah, yaitu tahun dimana Hasan Al-Bashri meninggal. Malik mengambil hadits dari Nafi' yaitu orang yang tidak bisa ditinggalkannya dalam periwayatan.

Juga, dari Said Al-Maqburi, Nu'aim Al-Mujammar, Wahab bin Kaisam, Az-Zuhri, lbnu Al-Munkadir, Amir bin Abdillah bin Az-Zubair, Abdullah bin Dinar, Zaid bin Aslam, Shafwan bin Salim, Ishaq bin Abi Thalhah, Muhammad bin Yahya bin Hibban, Yahya bin Said, Ayyub As-Sakhtiyani, Abu Az-Zinad, Rabi'ah bin Abi Abdirrahman dan banyak lagi orang-orang selain mereka dari ulama-ulama Madinah. Malik jarang meriwayatkan hadits dari orang-orang yang berasal dari luar Madinah."

Sedangkan, orang-orang yang meriwayatkan dari Malik dan mereka termasuk guru-gurunya adalah Az-Zuhri, Rabi'ah, Yahya bin Said dan yang lain. Sedangkan, dari orang-orang yang hidup sezaman dengan Malik adalah Al-Auza'i, Ats-Tsauri, Al-Laits dan yang lain.

Selain mereka, orang-orang yang meriwayatkan dari Malik adalah Ibnu Al-Mubarak, Yahya bin Said Al-Qaththan, Muhammad bin Al-Hasan, Ibnu Wahab, Ma'an bin Isa, Asy-Syafi'i, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Mashar, Abu 'Ashim, Abdullah bin Yusuf At-Tunisi, Al-Qa'Nabi, Said bin Manshur, Yahya bin Yahya, Yahya bin Yahya Al-Qurthubi, Yahya bin Bakir, An-Nufaili, Mush'ab Az-Zubaidi, Abu Mush'ab Az-Zuhri, Qutaibah bin Said, Hisyam bin Ammar, Suwaid bin Said, 'Utbah bin Abdillah Al-Maruzi, Ismail bin Musa, As-Saddi dan orang-orang lain seperti Ahmad bin Ismail As-Sahmi."

10. Al-Muwaththa` Karangan Imam Malik dan Keunggulannya

Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata, "Al-Muwaththa' adalah dasar utama dan inti dari kitab-kitab hadits, sedang karya Al-Bukhari adalah dasar kedua, dan dari keduanya muncul kitab yang menjadi penyempurna, seperti karya Imam Muslim dan At-Tirmidzi.

Imam Malik mengarang Al-Muwaththa' bertujuan untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih yang berasal dari Hijaz, dan di dalamnya disertakan pendapat-pendapat dari para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in.

Malik telah mengumpulkan hadits-hadits dalam Al-Muwaththa' sebanyak sepuluh ribu hadits. Malik senantiasa meneliti hadits-hadits tersebut setiap tahunnya, dan banyak hadits yang tereliminasi, sehingga hanya tersisa seperti yang ada sekarang.

Ibnu Abdul Bar menceritakan dari Umar bin Abdil Wahid, teman Al-Auza'i, dia berkata, "Aku memperlihatkan Al-Muwaththa' kepada Malik setiap empat puluh hari sekali. Dia pernah berkata, "Kitab ini aku karang selama empat puluh tahun, dan aku mengoreksinya setiap empat puluh hari sekali, tidak ada hadits yang ada di dalamnya yang tidak aku pahami."

Malik juga berkata, "Aku telah memperlihatkan kitabku ini kepada 70 ulama fikih yang ada di Madinah, mereka semua memberikan masukan dan menyetujuinya (watha'a), maka aku menamakannya dengan Al-Muwathaha'."

Al-Jalal As-Suyuthi berkata, "Dalam Al-Muwaththa' tidak ada hadits yang mursal, kecuali ada satu hadits penguat atau bahkan ada beberapa hadits lain sebagai penguat, namun yang benar adalah bahwa hadits-hadits yang ada di kitab Al-Muwaththa' semuanya adalah shahih yang tidak ada cacat di dalamnya."

Ibnu Abdul Bar telah mengarang kitab yang meneliti isi Al-Muwaththa'. Dia menjelaskan hadits-hadits Mursal, Mun'qati' dan Mua'dhal, dia berkata, "Di dalamnya ada redaksi "Ballighni" dan redaksi "'An Tsiqah" yang belum diketahui sanadnya sebanyak 61 hadits, semua sanadnya bukan dari Malik, dan ada empat hadits yang tidak diketahui sanadnya."

Ibnu Shalah telah mengarang satu kitab yang di dalamnya hanya membahas empat hadits tersebut.

Prof. Muhammad Fuad Abdul Baqi' berkata, "Mengherankan, kalau Ibnu Shalah mengatakan bahwa semua hadits yang ada di dalam Al-Muwaththa' sanadnya sampai kepada Rasulullah saw, sehingga empat hadits yang diutarakan Abdul Bar itu bukan merupakan hadits Mauquf.

Ibnu Shalah juga mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di dalam Al-Muwaththa' adalah hadits shahih dan dia merupakan kitab dasar. Dan, dikatakan bahwa manhaj dan periwayatan yang digunakan dalam Shaihain hampir sama dengan yang digunakan Malik."

Ahmad Syakir berkata, "Sesungguhnya Malik tidak menyebutkan sanad, sebagaimana yang dikatakan Al-Fallani, "Ibnu Shalah mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di Al-Muwaththa' adalah sampai kepada Rasulullah saw. Sesungguhnya bagi orang-orang yang mengetahui ilmu hadits tidak akan mengatakan bahwa hadits-hadits itu adalah sampai kepada Rasulullah saw. Kecuali hadits-hadits itu ada sanadnya, sehingga menjadi jelas apakah hadits ini sampai kepada Nabi atau tidak, apakah hadits ini shahih atau tidak."

11. Meninggalnya

Al-Qa'nabi berkata, "Aku mendengar orang-orang berkata, "Malik berusia 89 tahun, dan dia meninggal pada tahun 179 Hijriyah.''

Ismail bin Abi Uwais berkata, "Malik telah sakit dan meninggal, dan aku bertanya kepada keluarganya tentang apa yang dikatakan Malik ketika dia menghadapi sakaratulmaut. Mereka menjawab, "Malik mengucapkan dua syahadat kemudian dia membaca ayat Al-Qur'an yang artinya, "Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang)." (Ar-Rum: 4)

Malik meninggal di waktu Shubuh pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 179 Hijriyah. Amirul Mukminin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim juga ikut menyalatinya."

Dia dimandikan Ibnu Abi Zanbir, Ibnu Kinanah, Anaknya Yahya, dan sekretaris pribadinya Habib yang menyiramkan air ke jasadnya. Orang-orang telah mengantarkan jenazahnya sampai di kuburnya. Malik meninggalkan wasiat agar dikafani dengan kain putih dan dishalatkan di atas tempat jenazah.

Amirul Mukminin telah menyalatinya, dia berkata, "Bagi penduduk Madinah, Malik adalah pengganti ayahnya, Muhammad." Kemudian dia berjalan di depan jenazahnya dan memberikan kafan kepadanya seharga lima dinar."

Ibnu Al-Qasim berkata, "Malik meninggalkan seratus budak perempuan, belum lagi yang lain."

Ibnu Abi Uwais berkata, "Setelah Malik meninggal, perkakas yang ditinggalkan dijual dan hanya seharga lima ratus dinar."


Sumber : Kitab Min A'lam As-Salaf
Penulis : Syaikh Ahmad Farid
Sumber web : forum.arrahmah.com
Lanjutkan Membaca ...

IMAM HAMBALI, IMAM AHLU SUNNAH

AHMAD BIN HAMBAL (IMAM HAMBALI), IMAM AHLU SUNNAH

AHMAD BIN HAMBAL

Seorang imam yang sebagian orang mengatakan bahwa dia seolah telah menjadi imam ketika masih dalam kandungan ibunya. Dia adalah orang yang dimaksudkan Imam Asy-Syafi'i dalam perkataannya, "Aku melihat seorang pemuda di Baghdad. Ketika dia berkata haddatstsana, maka manusia akan berkata, "Benar." Sesungguhnya dia seorang imam yang telah dimasukkan dalam bara api pembuatan emas sehingga mengeluarkan dirinya menjadi emas merah. Ketika ditawarkan kepadanya kemewahan dunia, maka dia menolaknya dan terhadap bid'ah, maka dia menentangnya."

Sebagian ulama mengatakan bahwa kalau seandainya tidak ada Ahmad bin Hambal, maka semua orang akan menjadi Mu'tazilah. Ditanyakan kepada Bisyr Al-Hafi, "Kenapa kamu tidak keluar mengatakan sebagaimana Ahmad bin Hambal berkata?" Maka ia menjawab, "Apakah kalian menginginkan aku berkedudukan sebagaimana kedudukan seorang nabi? Sesungguhnya Ahmad bin Hambal adalah seorang ulama yang tekun beribadah, ahli fikih, berlaku zuhud, sabar terhadap cobaan dan seorang imam bagi Ahlu sunnah."

Betapa butuhnya para murid, ulama dan para dai untuk mengetahui biografinya. Dia hidup dalam kurun waktu yang penuh dengan fitnah yang besar dimana banyak sekali cobaan dan ujian, sedang orang-orang yang berfaham sekuler dan orang-orang munafik ingin menikam Islam dan umatnya.

Oleh karena itu, tidak cukup bagi orang yang berharap pertolongan Allah SWT dan kebahagiaan di Hari Kiamat dengan beribadah sungguh-sungguh dan mencari ilmu yang bermanfaat saja tanpa disertai upaya untuk memuliakan agama dan menyampaikan kebenaran agar panji-panji Islam dapat berkibar dengan mulia.

Imam Ahmad bin Hambal telah menghadapi fitnah dari empat khalifah, yaitu: Al-Makmun, Al-Mu'tashim, Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil. Sebelum mereka berkuasa, kehidupan umat Islam masih di bawah panji-panji Ahlu sunnah. Hal itu sampai pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid dimana para ahli bid'ah masih enggan menampakkan kebatilan mereka.

Ketika Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid condong pada pendapat Mu'tazilah, maka dia memaksa para ulama dan para hakim untuk menyuarakan madzhabnya yang sesat. Kebanyakan ulama yang menerima seruannya itu karena tidak berdaya, dan yang bertahan dengan keyakinannya banyak yang meninggal dunia.

Dalam fitnah ini, Ahmad bin Hambal mengambil langkah yang tidak akan mampu melakukannya kecuali ia adalah seorang nabi. Imam Ahmad bersikap seolah-olah gunung yang kokoh bertahan biarpun diterpa ganasnya deru angin fitnah dan riuhnya badai siksaan.

Ketika khalifah Al-Makmun meninggal dan digantikan oleh Al-Mu'tashim, maka dia berupaya untuk menjinakkan Ahmad bin Hambal dengan deraan cambukan disamping terali besi yang lamanya hampir dua puluh delapan bulan. Ketabahan Ahmad dalam mempertahankan sesuatu yang hak ini semakin menambah simpati ulama dan masyarakat luas yang sebelumnya sudah bersimpati kepadanya. Kalau waktu itu Ahmad berpaling dari mempertahankan yang hak, maka tidak akan terhitung lagi betapa banyak ulama yang akan tergelincir karena mengikutinya.

Sebah-sebab pendirian Ahmad yang kokok tersebut sudah dipersiapkan oleh Allah SWT, sehingga sebagian orang berkata kepada Ahmad bin Hambal, "Apabila kamu meninggal di tempat ini, maka kamu pasti akan masuk surga." Sedang yang lain berkata, "Kalau kamu meninggal, meninggallah sebagai (seorang yang mati) syahid dan apabila kamu hidup, maka hiduplah sebagai yang mulia."

Ahmad bin Hambal tetap dalam mempertahankan kebenaran sampai Al-Mu'tashim meninggal yang digantikan oleh Al-Watsiq dan kemudian Al-Mutawakkil sebagai pembawa udara kebebasan bagi Ahmad bin Hambal, karena Al-Mutawakkil mengikuti ajaran Ahlu sunnah.

Pada masa Al-Mutawakkil ini, berkibarlah tokoh-tokoh ulama sunnah, di sisi lain bermuram durjalah tokoh-tokoh penyeru bid'ah.

Allah SWT hancurkan orang-orang yang tergabung menyulut api fitnah terhadap dunia Islam. Walau demikian, bagi Ahmad bin Hambal ujian dan fitnah belumlah usai menerpanya.

Pada masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah jenis baru menerpa Ahmad bin Hambal, yaitu fitnah keduniawian berupa harta, jabatan dan kemewahan lingkaran penguasa. Yang demikian itu karena Khalifah Al-Mutawakkil berusaha mengaliri harta kekayaan kepada Ahmad bin Hambal, akan tetapi imam dan guru kita ini adalah orang yang tidak gentar terhadap cambukan dan siksaan, sehingga dia pun tidak tergoda oleh harta dan kedudukan.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Aku selamat dari ujian mereka sampai usiaku mencapai enam puluh tahun dan sekarang aku diuji dengan ini semua!" Akhirnya, Ahmad menjalani hidupnya dengan bersikap zuhud terhadap urusan duniawi dan cinta akhirat.

Akibat sikap dan ketabahannya tersebut, maka keberadaanya semakin agung di hati masyarakat dan berdampak besar terhadap para ulama di eranya dan era setelahnya. Kemudian muncullah madrasah yang diberi nama madrasah 'Al-Hanabilah' yang pemimpinnya adalah Ahmad bin Hambal.

Kita sekarang ini hidup di masa akhir. Dengan membaca kisahnya saja hati kita dapat bergetar dipenuhi rasa cinta dan simpati kepadanya, lalu bagaimana dengan orang yang hidup semasa dengan Ahmad bin Hambal yang mana mereka dapat menyaksikan ilmu, zuhud dan kesabarannya? Sudah barang tentu bahwa orang yang hanya mendengar tidak akan sama sebagaimana orang yang menyaksikan.

1. Nama, Kelahiran den Sifat-sifatnya

Nama lengkapnya: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa'labah bin Ukabah bin Sha'b bin Ali bin Bakar bin Wail bin Qasith bin Hanab bin Qushay bin Da'mi bin Judailah bin Asad bin Rabi'ah bin Nazzar bin Ma'd bin bin Adnan.

Kalau diperhatikan, maka garis keturunan Imam Ahmad bin Hambal ini memiliki keutamaan yang agung dan urutan yang mulia dari dua arah, yaitu:

Pertama: Dalam garis keturunan ini, nasab Imam Ahmad bin Hambal bertemu dengan Rasulullah SAW pada Nazzar. Nazzar ini mempunyai empat anak, di antaranya adalah Mudharr yang menurunkan Nabi Muhammad SAW. Sedang anak Nazzar yang lain adalah Rabi'ah yang menurunkan Imam Ahmad bin Hambal.

Kedua: Imam Ahmad bin Hambal adalah orang Arab asli dengan garis keturunan yang shahih.

Kelahirannya: Ibunya mengandungnya di Moro, kemudian pergi ke Baghdad lalu melahirkan Ahmad bin Hambal pada bulan Rabiul Awal tahun 164 Hijriyah.

Ayah Imam Ahmad bin Hambal (yang bernama) Muhammad adalah seorang walikota daerah Sarkhas dan salah seorang anak penyeru Daulah Abbasyiah. Muhammad meninggal pada usia tiga puluh tahun pada tahun 179 Hijriyah.

Sifat-sifatnya: Ibnu Dzuraih Al-Akbari berkata, "Aku pernah mencari Ahmad bin Hambal, setelah bertemu dan mengucapkan salam kepadanya, maka aku melihat bahwa dia adalah seorang Syaikh yang selalu bercelak dan berkulit sawo matang agak kemerah-merahan."

Dari Muhammad bin Abbas An-Nahwi, dia berkata, "Aku pernah melihat Ahmad bin Hambal, dia berwajah tampan, berbadan sedang, bercelak dan jenggotnya berwarna hitam. Dia mengenakan pakaian dari kain kasar yang berwarna putih dengan sorban di kepala dan selendang di pundaknya."

Al-Maimuni berkata, "Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih bersih bajunya, dan lebih perhatian terhadap dirinya ketika menata rambut, kumis dan badannya daripada Ahmad bin Hambal."

2. Awal Menuntut Ilmu dan Perjalanan Menuntut Ilmunya

Abu Nua'im berkata, "Dari Abul Fadhl dari ayahku, dia mengatakan, "Aku mulai mencari hadits ketika aku berumur enam belas tahun. Ketika Husyaim meninggal, maka usiaku sudah mencapai dua puluh tahun. Pertama kali aku mendengar hadits dari Husyaim tahun 179 Hijriyah yang pada tahun ini juga, Ibnul Mubarak datang untuk terakhir kalinya sehingga aku pun menghadiri halaqah (majelis) pengajiannya. Orang-orang berkata, "Dia keluar ke Thurthus dan meninggal di sana pada tahun 181 Hijriyah."

Al-Ulaimi berkata yang ringkasannya adalah sebagai berikut, "Sejak kecil Ahmad bin Hambal sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak menghafal hadits. Ketika dia hendak pergi pagi-pagi sekali untuk mencari hadits, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil berpesan, "Tunggulah sampai terdengar adzan atau sampai orang-orang keluar di waktu pagi."

Dia telah menempuh rihlah (perjalanan untuk mencari ilmu) ke berbagai negara, seperti ke Kufah, Bashrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah persisir, Marokko, Al-Jazair, Al-Faratin, Persia, Khurasan, daerah pegunungan serta ke lembah-lembah dan lain sebagainya.

Setelah melakukan rihlah yang panjang ini, akhirnya Imam Ahmad pun kembali lagi ke Baghdad hingga pada masanya, dia menjadi ulama terkemuka yang diperhitungkan. Dia abdikan ilmu pengetahuannya untuk agama Allah, sehingga dia menjadi salah satu tokoh terkemuka dart sekian banyak imam dalam Islam.

Dia sudah mencari hadits sewaktu berumur enam belas tahun dan masuk ke Kufah untuk pertama kali dalam perjalanan rihlahnya pada saat Husyaim meninggal, yaitu pada tahun 183 Hijriyah. Kemudian dia memasuki Kufah pada tahun 186 hijriyah dan berguru pada Sufyan bin 'Uyainah.

Setelah itu dia melanjutkan perjalanan menuju Makkah pada tahun 187 Hijriyah dimana Al-Fudhail bin Iyadh meninggal. Pada tahun itu juga, dia melaksanakan haji untuk pertama kalinya. Dia berguru kepada Abdurrazaq di Shan'a' daerah Yaman pada tahun 197 Hijriyah dan akhirnya menemani Yahya bin Ma'in."

Yahya berkata, "Ketika kami akan pergi berguru pada Abdurrazaq di Yaman, maka terlebih dahulu kami menunaikan ibadah haji. Dia saat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazaq juga sedang berthawaf sehingga aku lalu mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah aku perkenalkan Ahmad bin Hambal kepada Abdurrazaq, maka Abdurrazaq berkata kepada Ahmad bin Hambal, "Semoga Allah memberikan umur panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. Sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar tentang dirimu yang kesemuanya adalah khabar baik."

Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin Hambal, "Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita. Apabila kita meminta hadits riwayat Abdurrazaq di sini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak daripada kita menemuinya di rumahnya yang akan menelan perjalanan satu bulan."

Ahmad bin Hambal lalu menjawab, "Demi Allah aku tidak akan merubah niatku. Dari Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari Abdurrazaq di Shan'a. Kita harus menempuh perjalanan untuk bertemu Abdurrazaq di sana."

Akibat perjalanan yang jauh itu, maka Ahmad akhirnya kehabisan bekal, namun ketika kami diberi uang dirham dalam jumlah yang banyak oleh Abdurrazaq, maka Ahmad menolaknya; ketika uang itu diberikan Abdurrazaq dalam bentuk pinjaman, Ahmad pun tetap masih tidak mau menerimanya; lalu kami tawarkan uang bekal kami kepada Ahmad, akan tetapi dia pun tidak mau menerima. Pada saat kami memperhatikan bagaimana Ahmad memenuhi kebutuhannya, ternyata kami temukan dia telah bekerja dan makan dari hasil kerja tersebut.

Ahmad telah melaksanakan ibadah haji sebanyak lima kali, tiga kali dengan berjalan kaki dan dua kali dengan naik kendaraan. Di antara haji yang dilaksanakan tersebut, Ahmad pernah menghabiskan biaya sebesar dua puluh dirham. Dia adalah salah seorang sahabat yang istimewa bagi Imam Asy-Syafi'i. Hubungan persahabatan mereka berdua selalu terjalin dengan amat baik sampai Imam Asy-Syafi'i meninggalkan Baghdad menuju ke Mesir. Imam As-Syafi'i sangat menghormati Ahmad bin Hambal dan memujinya dengan pujian yang bagus sekali.

Harmalah menceritakan bahwa pada waktu Imam Asy-Syafi'i bertolak ke Mesir dari Irak, dia berkata, "Tidak aku tinggalkan di Irak orang yang menyerupai Ahmad bin Hambal."

Ahmad Ad-Dauraqi berkata, "Tatkala Ahmad bin Hambal pulang dari berguru pada Abdurrazaq, maka aku melihat Ahmad di Makkah dalam keadaan letih dan pucat. Nampak jelas sekali dia merasa lelah dan letih menempuh perjalanan jauh, sehingga aku pun lalu menghampirinya dan duduk di sampingnya untuk berbincang-bincang. Dalam perbincangan kami itu, Ahmad mengeluh dan berkata, "Rendah sekali pelajaran yang kami peroleh dari Abdurrazaq."

3. Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Membahas sanjungan para ulama tehadap Imam Ahmad bin Hambal ini ibarat membahas lautan yang tidak diketahui kadar kedalamannya. Kalau kita memuat semua perkataan sanjungan serta pujian para ulama terhadapnya, maka bab pembahasan ini akan menjadi sangat panjang. Oleh karena itu, kami cukupkan dengan beberapa isyarat saja sebagai perwakilan. Semoga Allah SWT mengampuni kekurangan kami dalam memaparkannya sesuai haknya.

Al-Khathib dengan sanadnya yang sampai kepada Ali bin Al-Madini, dia berkata, "Sesungguhnya Allah memuliakan agama ini dengan dua orang tanpa ada ketiganya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq pada waktu riddah (munculnya orang-orang murtad) dan Ahmad bin Hambal pada waktu mihnah (ujian Al-Qur'an itu makhluk)."

Al-Husain bin Muhammad bin Hatim yang terkenal dengan sebutan Abid Al-Ajl dari Mihnan bin Yahya, dia berkata, "Aku belum pernah melihat orang yang lebih baik dalam segala hal dari Ahmad bin Hambal. Aku telah melihat Sufyan bin 'Uyainah, Waqi' bin Al-Jarrah, Abdurrazaq, Bagiyyah bin Al-Walid dan Dhamrah bin Rabi'ah serta ulama yang lain, akan tetapi aku tidak melihat orang yang seperti Ahmad bin Hambal dalam keilmuan, kepandaian, zuhud dan kewara'an."

Abu Ya'la Al-Mushili berkata, "Aku telah mendengar Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauraqi berkata, "Kalau kalian mendengar ada orang menyebut Ahmad bin Hambal dengan buruk, maka demi agama Islam, kalian harus mencela orang tersebut."

Dari Abu Nua'im dengan sanadnya dari Said bin Al-Khalil Al-Khazzaz, dia berkata, "Seandainya Ahmad bin Hambal hidup pada masa Bani Israil, maka dia merupakan ayat."

Al-Muzni berkata, "Imam Asy-Syafi'i berkata kepadaku, "Di Baghdad ada seorang pemuda ketika dia berkata haddatstsana, maka semua orang akan percaya kepadanya dan membenarkan ucapannya." Ketika aku bertanya tentang siapakah pemuda itu, maka Imam Asy-Syafi'i menjawab, "Pemuda itu adalah Ahmad bin Hambal."

Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, "Waktu ayahku sedang dipukuli, teman-teman Bisyr Al-Hafi berkata kepada Bisyr Al-Hafi, "Seandainya waktu itu kamu keluar, maka apakah kamu akan berkata, "Aku akan tetap berpegang teguh sebagaimana yang telah dikatakan Al Hambal?" Lalu Bisyr Al-Hafi menjawab, "Apakah kalian menginginkan aku menduduki kedudukan para nabi?"

Imamnya para imam, Ibnu Khuzaimah, memberitahukan dari Muhammad bin Sahtawaih dari Abu Umair bin An-Nuhhas Ar-Ramali bahwa ketika disebut nama Ahmad bin Hambal, maka Abu Umair Ar-Ramali berkata, "Sungguh, betapa besar kesabarannya terhadap dunia, sungguh di masa lalu tidak ada orang yang menyamainya dan sungguh betapa dekatnya ia dengan orang shaleh. Ketika ditawarkan kepadanya kemewahan dunia, maka dia menolaknya dan terhadap bid'ah, maka ia menentangnya."

Abu Dawud berkata, "Halaqah pengajian Imam Ahmad bin Hambal adalah pengajian akhirat. Dia tidak pernah membahas apapun tentang keduniawian."

Dari Al-Khathib Al-Baghdadi dengan sanadnya dari Ahmad bin Said Ad-Darimi, dia berkata, "Aku belum pernah melihat orang berambut hitam yang lebih hafal dan lebih memahami makna hadits Rasulullah selain Abu Abdillah Ahmad bin Hambal."

Masih dari Al-Khatib dengan sanadnya dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal dari Abu Zur'ah Ar-Razi, dia berkata, "Ahmad bin Hambal telah hafal sebanyak 1.000.000 (satu juta) hadits." Ketika hal itu ditanyakan kepada Ahmad, "Bagaimana kamu dapat menghafalnya?" Maka Ahmad menjawab, "Aku selalu mempelajarinya dengan menjadikannya beberapa bab."

Abu Nua'im dengan sanadnya dari Khalaf bin Salim, is berkata, "Ketika kami sedang berada dalam halaqah (majelis) pengajian Yazid bin Harun, maka Yazid bergurau dengan murid-muridnya. Ketika Ahmad bin Hambal berdehem, maka Yazid kaget dan bertanya, "Siapa yang dehem tadi!" Ketika diberitahukan bahwa yang dehem tersebut adalah Ahmad bin Hambal, maka Yazid berkata lagi, "Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku kalau Ahmad bin Hambal berada di sini? Kalau aku tahu ia ada di sini, maka aku tidak akan bergurau."

Al-Khathib dengan sanadnya dari Muhammad bin Al-Husain Al-Anmathi, dia berkata, "Sewaktu kami sedang berada dalam majelis yang di situ terdapat Yahya bin Main, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb dan ulama-ulama besar dan terkemuka yang lain, maka mereka pada menyanjung Ahmad bin Hambal serta menyebut-nyebut keutamaannya. Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Kalian janganlah terlalu memujinya," yang kemudian Yahya bin Ma'in menimpali dengan berkata, "Memperbanyak sanjungan terhadap Ahmad bin Hambal akan menyita banyak waktu. Kalau kita duduk dan menyanjungnya terus, maka kita tidak akan bisa membahas kelebihan-kelebihannya dengan sempurna."

4. Zuhudnya

Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, "Ahmad bin Hambal seringkali membuat adonan tanpa cuka. Aku sering melihatnya memakan roti keras dan kasar yang dikibas-kibaskan karena terkena debu. Roti itu lalu diletakkan di panci besar lalu dia menuangkan air ke dalamnya agar lembek. Setelah lembek, dia memakannya dengan garam.

Aku belum pernah melihatnya membeli buah-buahan semisal muah delima maupun buah safarjal (sejenis apel) kecuali semangka yang dimakan dengan roti atau anggur dan korma. Apabila kami membeli sesuatu, maka kami akan menyembunyikan darinya. Sebab, kalau sampai dia melihatnya, maka dia akan mencela tindakan kami."

Shaleh berkisah, "Pada suatu hari, ayahku Ahmad bin Hambal masuk ke rumahku, sementara langit-langit rumahku telah aku rubah. Lalu dia memanggilku untuk diajarkan hadits dari Al-Ahnaf bin Qais. Ayahku berkata, "Sulaiman bin Harb memberitahukan kepada kami dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Hasan, dia berkata, "Ketika Al-Ahnaf pulang dari bepergiannya, langit-langit rumahnya telah diganti dan diwarnai dengan warna merah, biru dan lain-lain. Mereka lalu berkata, "Wahai Al-Ahnaf, tidakkah kamu melihat atap rumahmu? Bagaimana menurutmu?" Maka Al-Ahnaf bin Qais menjawab, "Aku minta maaf kepada kalian semua. Aku belum melihatnya dan aku tidak akan masuk rumahku itu sebelum atap rumah itu dirubah kembali seperti asalnya semula."

Musa bin Hammad Al-Barbari berkata, "Al-Hasan bin Abdil Aziz membawa warisannya dari Mesir kepadaku sebanyak 100.000 (seratus ribu) Dinar. Al-Hasan juga membawa untuk Ahmad bin Hambal tiga kantong dengan setiap kantongnya berisi seribu dinar. Al-Hasan berkata kepada Ahmad bin Hambal, "Wahai Abu Abdillah, uang ini adalah dari harta warisan yang halal. Ambillah untuk memenuhi kebutuhanmu!" Kemudian Ahmad menjawab, "Aku tidak membutuhkannya karena aku masih berkecukupan." Pada akhirnya, Ahmad bin Hambal tetap menolak dan tidak mau menerima uang tersebut sedikit pun."

Ishaq bin Hani' berkata, "Aku keluar pagi-pagi untuk meminta Ahmad bin Hambal mengajarkan kepadaku kitab karyanya Az-Zuhd. Kemudian aku memasang karpet dan bantal sebagai tempat duduknya, dan ketika Ahmad melihat karpet dan bantal yang aku pasang, maka dia bertanya kepadaku, "Apakah ini?" Aku menjawab, "Ini adalah tempat dudukmu?" Lalu dia berkata, "Ambil karpet dan bantal itu. Berbicara zuhud harus dengan zuhud." Setelah aku lipat karpet tersebut, baru dia duduk di atas tanah."

Abu Nua'im dengan sanadnya dari Shaleh bin Ahmad bin Hambal, dia berkata, "Pada suatu hari di masa khalifah Al-Watsiq, aku berkunjung ke rumah ayahku sementara dia sedang keluar untuk shalat Ashar. Di sana, aku melihat bulu-bulu di tempat duduknya telah kusut. Ketika aku mendekatinya, ternyata di bawah tempat duduk itu terdapat surat. Setelah aku perhatikan, ternyata isi surat itu adalah, "Wahai Abu Abdillah, telah aku sampaikan kepadamu 4.000 (empat ribu) dirham lewat seseorang agar kamu dapat membayar hutang-hutangmu dan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu. Uang ini bukan shadaqah dan juga bukan zakat, akan tetapi ini adalah uang dari hasil warisan dari ayahku."

Tatkala ayahku kembali ke rumah dari shalat Ashar, maka aku bertanya, "Wahai ayah, apakah artinya surat ini?" Melihat dan mendengar pertanyaanku itu, maka wajah ayahku berubah memerah pertanda sedang marah. Ayahku lalu berkata, "Baiklah. Aku akan membalas surat ini dan kamu antarkan surat balasanku kepada orang yang telah membawa surat ini."

Dalam balasan itu ayahku menulis, "Suratmu telah aku terima dan kami sekeluarga dalam keadaan sehat. Adapun soal hutang, maka hutang itu aku dapatkan dari seseorang yang tidak akan mengganggu kehormatan kami. Sedang keluarga kami dalam keadaan baik-baik walhamdulillah."

Selang beberapa lama, pengirim surat tersebut mengirim surat lagi dan ayahku pun membalasnya sebagaimana jawaban pertama kali."

Abdullah bin Ahmad bin Hafsh berkata, "Sewaktu di Makkah, kami pernah tinggal untuk sementara di suatu rumah. Dalam rumah tersebut tinggallah seorang tua yang mempunyai nama panggilan Abu Bakar bin Sama'ah. Orang itu adalah penduduk Makkah, ia berkata, "Dahulu, pada waktu aku masih kecil pernah ada orang yang tinggal di sini bernama Abu Abdillah (Ahmad bin Hambal). Lalu Ibuku berkata kepadaku, "Pergilah bersamanya dan layanilah dia. Sesungguhnya dia (Ahmad bin Hambal) adalah orang baik-baik." Aku pun lalu melayaninya. Pada waktu dia sedang pergi mencari hadits, pakaian dan hartanya dicuri orang. Ketika dia datang, Ibuku lalu berkata kepadaku, "Tadi ada pencuri masuk ke tempatmu mengambil bekal dan kainnya." Lalu dia (Ahmad bin Hambal) bertanya, "Pencuri itu tidak mengambil papan (tulisan)ku!?" Ibuku menjawab, "Papanmu masih ada." Dia tidak bertanya sesuatu apapun selain tentang papan tulisannya itu."

Ar-Ramadi berkata, "Aku pernah mendengar Abdurrazaq menyebut nama Ahmad bin Hambal, lalu keluar air matanya seraya berkata, "Dia pernah datang kemari dan menyampaikan kepadaku bahwa dia sedang kehabisan bekal. Namun ketika aku memberinya sepuluh dinar, dia hanya tersenyum dan berkata kepadaku, "Wahai Abu Bakar, kalau aku menerima pemberian orang yang lain, maka aku akan menerima uang pemberianmu ini." Akhirnya Ahmad pun tidak menerima uang pemberianku itu."

Kita tutup pembahasan ini dengan mengutip perkataan Al-Ulaimi, "Gemerlap dunia telah menghampirinya, tetapi dia tidak menghiraukannya, kedudukan ditolak dan harta benda pun tidak diinginkannya. Imam Ahmad bin Hambal menolak semua itu karena dirinya merasa cukup. Dalam kesederhanaannya dia berkata, "Harta sedikit bisa mencukupi dan harta yang banyak tidak bisa mencukupi. Sesungguhnya makanan itu bukanlah makanan (kecuali yang dimakan), pakaian juga bukan pakaian dan hari-hari di dunia ini teramat sedikit dan pendek sekali."

5. Kewara'annya

Qutaibah bin Said berkata, "Kalau tidak karena Ahmad bin Hambal, maka wira'i sudah mati."

Al-Ulaimi berkata, "Sebagian dari sifat wira'i Ahmad bin Hambal adalah dia meninggalkan untuk isterinya, Ibu dari Abdullah, sebuah rumah dan mengambil satu dirham darinya sebagai hak mendapatkan warisan.

Ketika Ibu Abdullah sedang membutuhkan biaya untuk memperbaiki rumah tersebut, maka Abdullah pun memperbaikinya. Akibatnya, Imam Ahmad tidak mau menempati rumah tersebut lagi karena menyangka Abdullah telah menerima uang dari pemerintah untuk memperbaikinya.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Ia (Abdullah) telah 'merusak' rumah tersebut hingga aku tidak bisa memasukinya." Maksud 'merusak' adalah memperbaiki rumah dari uang pemberian pemerintah.

Pada dasarnya anak-anak Imam Ahmad bin Hambal yang lain serta pamannya yang sudah melarang Abdullah menerima bantuan pemerintah, namun mereka memperbolehkannya ketika ada keperluan mendesak. Akibatnya, Imam Ahmad tidak berkunjung kepada kerabatnya selama sebulan.

Ketika dia sedang menderita sakit, dan setelah diadakan rapat mengenai tempat yang akan dijadikan pemondokannya, maka keluarganya lalu membawa Imam Ahmad ke rumah Shaleh. Namun Imam Ahmad bin Hambal dengan isyarat tangannya menyatakan ketidak mauannya dibawa ke sana karena dia (Shaleh) telah menerima uang bantuan pemerintah. Seperti ini sering terjadi pada diri Imam Ahmad."

Khalifah Al-Mutawakkil telah memberikan tunjangan kepada Ahmad bin Hambal dan keluarganya sebesar 4000 (empat ribu) dirham setiap bulannya. Kemudian, Imam Ahmad bin Hambal mengutus anaknya yang bernama Abdullah menemui Al-Mutawakkil untuk memberitahukan bahwa keluarganya sudah dalam keadaan berkecukupan.

Akan tetapi, Al-Mutawakil tetap mengirimkan uang tunjangan tersebut kepada keluarga Imam Ahmad bin Hambal. Al-Mutawakkil berkata kepada Imam Ahmad, "Uang ini bukan untukmu, tetapi untuk anak-anakmu."

Oleh sebab itu, Ahmad bin Hambal berkata, "Wahai paman, masih berapa tahunkah sisa umur kita ini? Kenapa kamu lakukan itu? Sesungguhnya anak-anak kami hanya sekadar makan bersama kami dalam tempo yang amat sebentar sekali. Seandainya dibukakan tirai pembatas penglihatan manusia, maka ia akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika manusia mengetahuinya, maka ia akan bersabar barang sebentar untuk mendapatkan balasan pahala yang panjang. Sesungguhnya semua ini adalah fitnah."

Shaleh bin Ahmad bin Hambal mengkisahkan bahwa ayahnya ketika sedang sakit berkata kepadanya, "Keluarkanlah kitab Abdullah bin Idris dan bacakan untukku hadits dari Laits bahwa Thawus membenci mengaduh ketika sakit." Oleh karena itu, ketika ayahku sedang menjalani sakitnya, maka aku belum pernah mendengar dia mengaduh sampai menghembuskan nafas terakhirnya.

Dari Ahmad bin Muhammad At-Tasatturi, ia berkata, "Ketika keluarga Ahmad bin Hmabal mengetahui bahwa selama tiga hari berturut-turut Imam Ahmad tidak mau makan, maka mereka lalu memberitahukannya kepada teman dekat Imam Ahmad dan mereka menyiapkan bubur dengan cepat. Ketika bubur itu disuguhkan, Imam Ahmad bertanya, "Dari mana ini?" Mereka menjawab, "Dari Shaleh." Lalu Imam Ahmad berkata, "Singkirkan bubur itu dari hadapanku."

Selanjutnya, dia memerintahkan agar mereka menutup jalan yang menuju rumah Shaleh." Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa Ahmad bin Hambal memerintahkan demikian itu karena Shaleh telah menerima tunjangan pemberian Khalifah Al-Mutawakkil."

6. Budi Pekerti dan Akhlaknya

Al-Khallal berkata kepada kami, "Muhammad bin Al-Husain memberitahukan kepada kami bahwasanya Abu Bakar Al-Marwazi mengutarakan akhlak Abu Abdillah Ahmad bin Hambal dengan berkata, "Ahmad bin Hambal bukanlah orang yang tidak tahu. Kalau ada orang yang tidak mengenalinya, maka dia akan bersikap lemah lembut dan bertanggung jawab dengan selalu berkata, "Segalanya dari Allah." Ahmad tidak pendendam, tidak suka tergesa-gesa, sangat sopan, disiplin, bersikap santun terhadap orang lain, tidak berperangai kasar dan menyukai dan membenci sesuatu karena Allah. Akan tetapi, untuk hal yang berkaitan dengan urusan agama, dia sangat tegas. Akibatnya, dia sering menderita akibat sikap para tangganya."

Abu Dawud As-Sijistani menceritakan bahwa Ahmad bin Hambal tidak pernah turut campur terlalu mendalam ketika membahas masalah duniawi seperti orang-orang pada umumnya. Akan tetapi, ketika dipaparkan di hadapannya masalah agama, maka dia akan angkat bicara dan tidak pernah tinggal diam. Halaqah pengajian Ahmad bin Hambal adalah pengajian akhirat yang di sana tidak akan dibahas masalah keduniawiaan. Aku belum pernah melihat walau sekali saja, Imam Ahmad bin Hambal berbicara masalah dunia.

Dari Abul Husain Al-Munadi, dia berkata, "Aku pernah melihat kakekku berkata, "Ahmad bin Hambal adalah manusia pilihan, yang paling mulia kepribadiannya dan paling baik etikanya dalam bergaul. Dia lebih banyak diam dan menahan pembicaraan, menghindar dari perkataan yang tidak baik serta bicara tanpa ada manfaatnya dan tidak pernah terdengar darinya kecuali pelajaran hadits.

Disamping itu, dia suka membahas seputar orang-orang saleh dan orang-orang zuhud; suka membuat orang lain senang ketika bertemu dengannya; dan dia juga sangat menghormati dan memuliakan orang-orang tua sehingga mereka juga sangat menghormati dan memuliakannya.

Apa yang dilakukan Ahmad bin Hambal itu adalah sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ma'in, walaupun Yahya bin Ma'in lebih tua darinya dengan selisih umur kira-kira tujuh tahun. Sewaktu akan memasuki rumahnya dari masjid, dia menghentakkan kakinya ke tanah supaya orang yang ada dalam rumahnya mendengar kedatangannya. Terkadang pula dia menggunakan batuk (dehem) sebagai isyarat agar orang di dalam rumah mengetahui kedatangannya."

Abu Nua'im dengan sanadnya dari Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri dari Ali bin Abi Mirarah, dia berkata, "Ibuku mengalami lumpuh sekitar dua puluh tahun lamanya. Pada suatu hari, ibuku berkata kepadaku, "Pergilah kamu ke tempat Ahmad bin Hambal dan mintalah kepadanya agar dia mendoakan kesembuhanku," sehingga aku pun lalu pergi ke rumahnya. Ketika aku sudah sampai di depan rumahnya, aku lalu mengetuk pintunya, sementara Ahmad bin Hambal yang sedang berada di ruangan khususnya dari dalam rumah bertanya, "Siapa yang ada di balik pintu?" Aku menjawab, "Aku salah seorang tetanggamu." Aku sampaikan kepadanya bahwa ibuku adalah seorang yang lumpuh, ia menyuruhku agar aku ke sini untuk memintakan doa darimu."

Setelah itu, aku mendengar suara Imam Ahmad seperti orang yang sedang marah, dia berkata, "Kami lebih membutuhkan doa darimu." Karenanya, aku lalu bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, belum lagi aku beranjak melangkahkan kakiku, tiba-tiba muncul seorang perempuan tua dari rumah berkata, "Apakah kamu orang yang baru saja berkata dengan Ahmad bin Hambal?" Aku menjawab, "Benar." Lalu perempuan tua itu berkata, "Ketika kamu meninggalkannya, dia sudah mendoakan ibumu." Mendengar ucapan perempuan tua itu, seketika aku pulang ke rumahku. Ketika aku hendak mengetuk pintu, maka aku dapati ibuku sudah bisa berjalan dengan kedua kakinya bahkan sudah bisa membukakan pintu. Ibuku berkata, "Allah benar-benar telah memberiku kesehatan."

Dari Al-Husain bin Ismail dari ayahnya, dia berkata, "Dalam halaqah pengajian Ahmad bin Hambal biasanya berkumpul kira-kira 5000 (lima ribu) murid atau lebih. Di antara mereka itu, minimal terdapat lima ratus ahli hadits menulis hadits, sementara yang selebihnya adalah orang-orang yang belajar akhlak dan budi pekerti."

Abu Bakar Al-Muththawi'i mengatakan, "Aku dengan Abdullah Ahmad bin Hambal berselisih umur dua belas tahun. Ketika dia mengajarkan kitab karyanya Al-Musnad kepada anak-anaknya, aku tidak pernah menulis satu pun hadits yang dibacanya. Di sana, aku hanya belajar dari cara memberi petunjuk, ahlak dan budi pekertinya."

7. Keteguhannya Mengikuti Sunnah

Abu Nua'im menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal merupakan contoh figur seorang imam yang selalu mengikuti sunnah. Dia merupakan suri teladan bagi orang-orang sesudahnya yang tidak pernah berpaling dari tuntunan sunnah dan tidak suka mengotak-atik sunnah dengan logika. Hafalannya terhadap hadits beserta illat-illatnya ibarat gunung yang kokoh dan lautan yang sangat dalam.

Dari Abdul Malik Al-Maimuni, ia berkata, "Mataku belum pernah melihat orang yang lebih mulia dari Ahmad bin Hambal. Aku juga belum pernah melihat seorang pun dari para ulama ahli hadits yang lebih mengangungkan perintah Allah, sunnah Rasul-Nya dan yang lebih patuh darinya."

Imam Ahmad berkata, "Aku tidak pernah menulis satu pun hadits Rasulullah SAW kecuali hadits itu sudah aku amalkan. Ketika aku menjumpai hadits, "Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berobat dengan berbekam dan member upah Abu Thaibah satu Dinar" (HR. Al-Bukhari, Muslim, Malik, Ad-Darimi dan Ahmad), maka aku pun telah mempraktekkannya dengan memberikan upah satu dinar kepada tukang bekam."

Abdullah bin Ahmad bin Hambal mengatakan, "Aku tidak pernah melihat ayahku bercerita tanpa kitab kecuali kurang dari seratus hadits. Aku juga pernah mendengar ayahku berkata, "Imam Asy-Syafi'i berkata kepadaku, "Wahai Abu Abdillah, apabila kamu menjumpai hadits yang menurutmu shahih, maka tolong beritahukan kepadaku agar aku mengikutinya, baik hadits itu dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam. Sesungguhnya kamu lebih tahu tentang hadits yang shahih daripada aku."

Menurut Adz-Dzahabi, Imam Asy-Syafi'i dalam cerita ini tidak menyebut hadits dari Hijaz karena dia sendiri sudah paham. Begitu juga dia juga tidak menyebut hadits dari Mesir, karena di antara keduanya, Hijaz dan Mesir, Imam Asy-Syafi'i lebih paham sendiri."

8. Cobaan yang Menimpanya

Telah berlaku dalam sunnatullah bagi manusia bahwasanya Allah akan memberikan ujian kepada manusia untuk membuktikan keteguhan keimanan seseorang, sehingga benarlah orang-orang yang benar dan dustalah para pembohong terhadap apa yang mereka katakan. Allah SWT telah berfirman, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi?" Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (Al-Ankabut: 2-3)

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang manusia yang paling hebat dan dahsyat cobaannya, maka beliau bersabda, "Para nabi, kemudian orang yang di bawahnya dan di bawahnya." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ketika Imam Asy-Syafi'i ditanya tentang manakah yang lebih utama antara orang yang tenang (tidak diberi ujian) dengan orang-orang yang diberi cobaan? Maka dia menjawab, "Seseorang tidak akan tenang sebelum mendapat cobaan."

Cobaan dan ujian yang telah diberikan kepada Imam Ahmad bin Hambal menunjukkan kekuatan dan keagungan imannya kepada Allah. Allah SWT telah berfirman, "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)

Sebagian ulama salaf berkata, "Ketika manusia menghadapi pokok permasalahan yang genting, kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin, sehingga dengan keyakinan dan kesabaran, maka seseorang dapat mencapai derajat keimaman dalam agama. Oleh karena itu, Allah telah menjadikan tali yang kuat dari ulama untuk menjelaskan kebenaran kepada para manusia dan tidak menyembunyikan kebenaran tersebut."

Berangkat dari sini, maka Rasulullah SAW telah bersabda, "Jihad yang paling besar adalah menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat." (HR. At-Tirmizdi dan An-Nasa'i)

Para ulama berpendapat bahwa menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat merupakan jihad paling besar atau paling utama, sedang yang disebut jihad adalah menghadapkan diri pada kebinasaan. Disadari bahwa menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang jahat, besar kemungkinannya jiwa akan binasa. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi para ulama dan dai penyeru agama Allah untuk selalu bersikap tegas dalam menyampaikan kebenaran tanpa rasa khawatir dan takut.

Adz-Dzahabi menambahkan, "Menyuarakan kebenaran adalah sesuatu yang mulia, tetapi diperlukan kekuatan dan keikhlasan. Orang yang ikhlas tanpa disertai kekuatan tidak bisa menegakkan kebenaran. Sedangkan orang kuat tetapi tidak ikhlas, maka ia hanya akan mendapatkan kehinaan. Orang yang sempurna adalah orang yang bisa menyeimbangkan kedua-duanya. Barangsiapa yang lemah, maka dia hanya bisa melakukannya dengan ingkar dalam hati dan berserah diri kepada Allah, karena tidak ada kekuatan kecuali dari-Nya."

Secara silih berganti dan berurutan, Ahmad bin Hambal menghadapi cobaan dari empat penguasa sekaligus. Di antara keempatnya ada yang mengancam dan menteror; ada yang yang memukul dan memasukannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengiming-imingi kekuasaan dan harta kekayaan.

Akan tetapi, semua itu justeru membuat Ahmad bin Hambal bertambah tegar dan tetap pada pendirian semula serta bertambah kuatlah keimanan dan keyakinannya. Hal ini merupakan indikator iman yang benar kepada Allah sebagaimana difirmankan-Nya, "Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (Al-Ahzab: 22)

Orang-orang mukmin yang benar imannya akan bertambah kadar iman dan ketundukkannya kepada Allah dengan adanya cobaan dan ujian yang menimpanya. Sedangkan orang-orang munafik akan takut dengan cobaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, "Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka." (Al-Munafiqun: 4)

Al-Ulaimi berkata, "Ketika Al-Makmun Abu Ja'far bin Harun Ar-Rasyid mulai memerintah, tepatnya di mulai dari bulan Muharram, ada yang mengatakan Rajab tahun 198 Hijriyah, kaum Mu'tazilah mulai bersuara kembali dan mempengaruhi Al-Makmun untuk meninggalkan jalan yang benar menuju jalan yang batil. Mereka memperindah perkataan mereka yang hina dengan mengatakan bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk. Akibatnya, Al-Makmun pun mengikuti pendapat dan statemen mereka tersebut.

Menjelang akhir usia Al-Makmun, tepatnya sewaktu pasukan Al-Makmun keluar dari Baghdad hendak menyerang tentara Romawi, pada saat itulah, Al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim bin Mush'ab yang pada saat itu sebagai perwira tertinggi tentaranya agar mengajak kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti golongannya, yaitu golongan yang menganggap bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Kemudian, Ishaq bin Ibrahim menyeru para ulama, hakim dan para imam ahli hadits agar mengikuti seruan Al-Makmun, namun orang-orang yang menerima seruan tersebut menolaknya. Akhirnya, mereka pun menempuh jalan kekerasaan dan paksaan, sehingga kebanyakan dari orang-orang tersebut pun mengikutinya dengan terpaksa. Akan tetapi, Ahmad bin Hambal tetap menolaknya sehingga Al-Makmun semakin geram dan marah. Pada saat Ahmad bin Hambal jelas-jelas menolak itulah, akhirnya dia dibawa dengan unta untuk di hadapkan kepada khalifah Al-Makmun."

Abu Ja'far Al-Ambari mengatakan, "Tatkala Ahmad bin Hambal dalam perjalanan untuk di hadapkan Al-Makmun, dia duduk dalam keadaan lemas. Setelah aku menyeberangi sungai Efrat, maka aku berusaha menemuinya. Ketika aku bertemu dengannya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku mendengar dia berkata, "Wahai Abu Ja'far, apakah kamu merasa risau terhadapku?" Aku menjawab, "Ini sebenarnya bukanlah kesusahan wahai saudaraku. Sesungguhnya sekarang ini kamu adalah pemimpin bagi manusia. Pada saat ini banyak manusia mengikuti langkahmu. Demi Allah, kalau kamu membenarkan mereka untuk menganggap bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk, maka akan banyak sekali orang yang akan menerima pendapat tersebut. Namun, apabila kamu tidak menerimanya, maka kamu telah menghentikan banyak orang untuk mengikuti sepak terjang kesesatan langkah mereka.

Oleh karena itu, meskipun kamu tidak dibunuh Al-Makmun pada saat ini, maka pada waktunya nanti, kamu pasti juga akan mati. Bertakwalah kepada Allah dan jangan kamu terima pendapat mereka." Akibat perkataanku ini, Ahmad bin Hambal lalu menangis dan berkata, "Apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi."

Ahmad bin Hambal lalu diseret untuk dihadapkan kepada Khalifah Al-Makmun. Dalam kesempatan itu, Al-Makmun sudah menetapkan hukuman bagi Imam Ahmad untuk dibunuh kalau dia masih tidak mau menerima pendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Setelah ketentuan hukuman Imam Ahmad sudah jelas, dia dibawa kembali untuk di masukkan penjara guna menunggu kapan hukuman mati yang ditetapkan Al-Makmun dilaksanakan.

Sewaktu dalam perjalan kembali menuju terali besi inilah, Imam Ahmad berdoa agar dirinya tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Belum lama berselang, sewaktu Imam Ahmad masih dalam perjalanan, terdengar berita bahwa Al-Makmun telah meninggal. Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah. Akibat kematian itulah, akhirnya Imam Ahmad dikembalikan lagi ke Baghdad untuk dipenjarakan.

Sepeninggal Al-Makmun, tampuk pemerintahan jatuh di tangan Al-Mu'tashim. Nama lengkap Mu'tashim adalah Abu Ishaq Al-Mu'tashim Billah Muhammad bin Harun Ar-Rasyid. Pada waktu itu, Al-Mu'tashim baru datang dari Romawi menuju ke Baghdad pada pertengahan bulan
tahun 218 Hijriyah. Pada masa Mu'tashim ini, Ahmad bin Hambal didera hukuman dengan cambukan yang pelaksanaanya terjadi di hadapannya.

Ada kabar yang menyebutkan bahwa ketika Al-Mu'tashim hendak menghadirkan Ahmad bin Hambal, di depan pintunya orang-orang ramai sekali berlalu-lalang seperti peristiwa hari raya. Pada waktu itu, digelarlah balai persidangan. Al-Mu'tashim berkata, "Bawa kemari Ahmad bin Hambal."

Setelah Imam Ahmad dihadirkan dan berada di hadapan Al-Mu'tashim, ia memberi salam lalu berkata, "Wahai Ahmad, bicaralah dan jangan takut!" Imam Ahmad berkata, "Demi Allah, aku sudah masuk di sini berada di hadapanmu. Sungguh, dalam hatiku tidak ada walau sekecil biji korma sekali pun rasa takut kepadamu."

Al Mu'tashim berkata, "Apa pendapatmu tentang Al-Qur'an?" Dia menjawab, "Al-Qur'an adalah firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah telah berfirman, "Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah." (At-Taubah: 6)"

Al-Mu'tashim bertanya lagi, "Apakah kamu mempunyai hujjah yang lain?" Dia menjawab, "Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi, "(Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al Qur'an" (Ar-Rahman: 1-2)

Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, "(Tuhan) Yang Maha Pemurah yang menciptakan Al-Qur'an." Allah juga berfirman, "Yaa Siin. Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah." (Yasin: 1-2)

Dalam ayat ini, Allah tidak berfirman, "Yaa Siin. Demi Al-Qur'an yang makhluk."

Setelah mendengar penjelasan Imam Ahmad ini, Al-Mu'tashim lalu berkata, "Penjarakan dia." Ahmad bin Hambal lalu di masukkkan penjara lagi dan buyarlah kumpulan manusia yang menyaksikan peristiwa akbar tersebut.

Keesokan harinya, Al-Mu'tashim duduk di kursi singgasananya dan berkata, "Datangkan kepadaku Ahmad bin Hambal." Lalu, orang banyak pun berkumpul sampai aku mendengar kegaduhan di Baghdad. Tatkala Imam Ahmad sudah tiba dan berdiri tepat di hadapannya, terlihat pedang sudah terhunus, tombak sudah diarahkan, perisai bertebaran membentuk pagar betis, tiang gantung sudah ditegakkan dan cambuk sudah disiapkan.

Al-Mu'tashim lalu bertanya kepada Imam Ahmad tentang pendapatnya mengenai Al-Qur'an. Kemudian Imam Ahmad menjawab, "Aku katakan bahwa Al-Qur'an bukanlah makhluk."

Al-Mu'tashim bertanya lagi, "Apa dalilmu?" Imam Ahmad menjawab, "Dari Abdurrazaq dari Ma'mar dari Az-Zuhri dari Anas, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya firman Allah yang dikhususkan kepada Musa adalah 100313 (seratus ribu tiga ratus tiga belas) kalimat. Firman ini bersumber dari Allah dan Musa mendengarkannya."

Kemudian Allah juga berfirman, "Akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku; "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (As-Sajdah: 13)

Jadi, ketika perkataan (ketetapan) itu dari Allah, maka Al-Qur'an itu Kalamullah."

Tidak puas dengan menanyainya, Al-Mu'tashim lalu mengeluarkan Imam Ahmad ke dalam kelompok para ulama ahli fikih dan hakim untuk berdebat.

Selama tiga hari berdebat, Imam Ahmad bin Hambal dapat membungkam dan mengalahkan argumen mereka. Ahmad bin Hambal memberikan keterangan yang jelas dan tidak terbantahkan lagi dengan berkata, "Aku adalah orang berilmu yang belum pernah melihat pendapat ini. Oleh karena itu, tunjukkanlah kepadaku dalil dari Al-Qur'an dan hadits supaya aku menerima pendapat kalian."

Ketika mereka memberikan dalil untuk mendukung dan menguatkan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka Imam Ahmad berkata kepada mereka, "Bagaimana aku akan mengatakan sesuatu yang tidak disinggung Al-Qur'an?"

Sungguh, mereka yang berdebat dengan Imam Ahmad bin Hambal adalah orang-orang yang fanatik. Di antara mereka adalah: Muhammad bin Abdil Malik yang menjabat sebagai menteri Al-Mu'tashim, Ahmad bin Abi Al-Qadhi serta Bisyr Al-Muraisi. Mereka semua adalah orang Mu'tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Ibnu Abi Dawud dan Bisyr Al-Muraisi mengusulkan kepada khalifah, "Bunuh saja orang ini (Ahmad bin Hambal) sehingga kita bisa beristirahat dengan tenang. Sungguh, Ahmad bin Hambal adalah orang kafir yang menyesatkan."

Al-Mu'tashim menjawab, "Aku sudah berjanji kepada Allah untuk tidak membunuhnya memakai pedang dan tidak akan memerintahkan membunuhnya dengan pedang." Mendengar jawaban ini, keduanya lalu berkata, "Kalau begitu, bunuh saja dia dengan cambuk."

Al-Mu'tashim berkata kepada Ahmad bin Hambal, "Demi kekerabatanku dengan Rasulullah, sesungguhnya kami akan menderamu dengan cambuk atau kamu berkata seperti yang kami katakan?" Namun, hal itu tidak membuat Imam Ahmad berubah pikiran, sehingga Al-Mu'tashim lalu memerintahkan kepada ajudannya, "Datangkan ke sini algojo ahli cambuk." Al-Mu'tashim lalu bertanya kepada seorang dari algojo-algojo itu, "Berapa cambukan yang kamu butuhkan untuk dapat membunuhnya?" Ia menjawab, "Sepuluh kali." Al-Mu'tashim berkata, "Lakukanlah apa yang kamu butuhkan." Kemudian baju Imam Ahmad dibuka dan kedua tangannya diikat dengan tali yang masih baru.

Sewaktu Al-Mu'tashim melihat cambuk-cambuk yang akan digunakan, maka dia memerintahkan agar cambuknya diganti dengan yang baru. Ketika proses pencambukan Imam Ahmad itu berlangsung, Al-Mu'tashim turut hadir menyaksikannya.

Pada deraan cambukan pertama, Imam Ahmad bin Hambal mengucapkan, "Bismillah (dengan nama Allah)." Pada cambukan kedua dia berkata, "La Haula wa la quwwata illa billah (tidak ada daya dan kuasa kecuali dari Allah)." Pada cambukan ketiga dia berkata, "Al-Qur'an adalah firman Allah dan bukan makhluk." Pada deraan cambukan keempat, dia berkata dengan mengutip ayat Al-Qur' an, "Katakanlah, "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami." (At-Taubah: 15)

Akibatnya, Al-Mu'tashim memerintahkan agar cambukan lebih diperkeras lagi. Ketika sampai pada cambukan yang ke Sembilan belas, Al-Mu'tashim bangkit dari tempat duduknya berjalan mendekati Imam Ahmad dan berkata, "Wahai Ahmad, apakah rasa sakit telah mematikan jiwamu? Harus dengan apa kamu ingin mengakhiri hidupmu? Demi Allah, sesungguhnya aku sangat kasihan melihatmu begini. Apakah kamu ingin mengalahkan mereka semua!"

Sebagian ahli cambuk Al-Mu'tashim berkata, "Celakalah kamu wahai Ahmad, sang khalifah berdiri di atas kepalamu." Sebagian lagi berkata, "Wahai Amirul Mukminin, percikan darah Ahmad mengenai leherku. Bunuh saja dia!"Sedangkan yang lain berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Ahmad sedang berpuasa, sedang paduka berdiri di bawah terik matahari!"

Kemudian Al-Mu'tashim berkata, "Wahai Ahmad, gerangan apakah yang ingin kamu katakan?" Imam Ahmad menjawab, "Berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur'an dan hadits Nabi sehingga aku akan mengatakan sebagaimana yang paduka katakan."

Al-Mu'tashim lalu kembali lagi ke kursi tempat duduknya dan memerintahkan kepada algojo mencambuknya, "Interogasi dia dengan cambuk agar mau mengatakannya!" Tidak lama berselang, Al-Mu'tashim berdiri lagi mendekati Imam Ahmad dan berkata, "Wahai Ahmad, kasihanilah dirimu dan ikutlah denganku! Sesungguhnya ketika kamu ikut denganku, gelar imam akan tetap kamu sandang."

Lalu Imam Ahmad menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur'an dan hadits Nabi sehingga aku mengatakan sebagaimana paduka." Al-Mu'tashim pun kembali lagi ke tempat duduknya. Dia perintahkan memperkeras mencambuknya, akibatnya Imam Ahmad bin Hambal tidak sadarkan diri.

Pada saat tidak sadarkan diri itulah, badan Imam Ahmad ditaruh di atas tikar milik seseorang. Ketika sudah sadar, maka mereka memberikan bubur kepadanya untuk makan dan minum. Namun Imam Ahmad berkata, "Aku tidak akan memakan dan meminumnya. Aku tidak ingin membatalkan puasaku."

Lalu, mereka membawa Ahmad ke rumah Ishaq bin Ibrahim. Imam Ahmad menunaikan shalat Zhuhur di sana dan Ibnu Sama'ah menjadi makmumnya. Setelah shalat, Ibnu Sama'ah berkata, "Wahai Ahmad, kamu menunaikan shalat sedang darah mengalir membasahi bajumu?" Maka Imam Ahmad menjawab, "Umar bin Al-Khathab telah menunaikan shalat, sedang lukanya tetap mengalirkan darah."

Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa ujian yang berat itu terjadi pada tahun 219 Hijriyah. Sedang ketika aku (Adz-Dzahabi) perhatikan dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah.

Kisah yang benar adalah sebagaimana kami sebutkan di depan bahwa cobaan berat ini berawal pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dengan dalil Bisyr Al-Muraisi sebagai otak penyulut bencana meninggal pada tahun 218 bulan Dzulhijjah.

Walaupun ada juga yang menyebutkan bahwa Bisyr Al-Muraisi meninggal pada tahun 219, akan tetapi pendapat ini kurang tepat karena Al-Mu'tashim memerintah setelah Al-Makmun. Al-Mu'tashim masuk Baghdad pada awal Ramadhan tahun 218, dan Ahmad bin Hambal dipenjara bersamaan ketika Al-Mu'tashim sedang masuk Baghdad.

Aku juga melihat keterangan lain yang menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal dikeluarkan dari penjara pada bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah. Keterangan ini mendukung apa yang telah kami paparkan bahwa Imam Ahmad mendekam di penjara sekitar 28 (dua puluh delapan) bulan. Berawal dari menjelang Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah sampai bulan Ramadhan tahun 220 adalah sekitar dua puluh delapan bulan.

Dari keterangan ini, maka mihnah (cobaan) itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dan Ahmad bin Hambal keluar dari penjara pada tahun 220 Hijriyah. Wallahu a'lam.

Setelah Al-Mu'tashim meninggal, naiklah Abu Ja'far Al-Watsiq Harun bin Al-Mu'tashim sebagai khalifah pada bulan Rabiul Awal tahun 221 Hijriyah. Biarpun Abu Ja'far tidak mendera Ahmad bin Hambal dengan cambukan, akan tetapi dia telah mengasingkan Imam Ahmad. Tahanan ini bermula dari pengasingan di suatu daerah, kemudian Ahmad dipindah ke rumahnya dan ditetapkan dengan hukuman tahanan rumah. Imam Ahmad tetap bersabar dengan hukuman itu sampai pada akhirnya Al-Watsiq meninggal.

Berdasarkan kisah Ibrahim Nafthawiyah dari Hamid bin Al-Abbas dari seseorang dari Al-Muhtadi bahwa sebelum Al-Watsiq meninggal, ia telah bertaubat dari keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Setelah Al-Watsiq mangkat, maka naiklah Al-Mutawakkil sebagai khalifah pada bulan Dzulhijjah. Nama Al-Mutawkkil adalah Abul Fidhl Ja'far bin Al-Mu'tashim. Corak kepemimpinan Al-Mutawakkil ini berbeda dengan para pendahulunya, Al-Makmun, Al-Mu'tashim dan Al-Watsiq dalam hal akidah. Dia justru mencela pendahulunya yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan melarang para masyarakat untuk memperdebatkan masalah tersebut.

Sebagai gantinya, dia membuka lebar-lebar bagi ulama ahli hadits untuk menyebarkan dan meriwayatkan hadits. Akibatnya, berkibarlah bendera akidah Ahlu sunnah dan matilah bid'ah. Semua ulama yang dahulu dipenjarakan karena masalah 'Al-Qur'an makhluk' dibebaskan. Sebagai penggantinya, dimunculkan surat keputusan yang berisi perintah penahanan terhadap Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir yang akhirnya di penjarakan di Tanur sampai meninggal. Peristiwa itu terjadi pada tahun 233 Hijriyah.

Empat puluh tujuh hari setelah Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir meninggal, hakim Ahmad bin Abi Dawud terkena penyakit mati separoh badannya. Oleh karena itu, kedudukan hakim lalu digantikan puteranya yang bernama Abul Walid Muhammad. Akan tetapi, banyak masyarakat yang tidak senang terhadap langkah Abul Walid Muhammad ini. Akibatnya, teguran keras dan sangsi muncul dari Khalifah Al-Mutawakkil kepada Ahmad bin Abi Dawud dan anaknya.

Semua harta kekayaannya yang berjumlah 120.000 (seratus dua puluh ribu) dinar dan permata senilai 40.000 (empat puluh ribu) dinar disita pemerintah. Tidak itu saja, Ahmad bin Abi Dawud pun digiring ke Baghdad dari tempat tinggalnya semula, Surra Man Ra'a.

Selanjutnya, jabatan hakim digantikan Yahya bin Aktsam. Ahmad bin Abi Dawud akhirnya meninggal akibat penyakit yang dideritanya pada bulan Muharram tahun 240 Hijriyah. Sedang anaknya meninggal dua puluh hari lebih dahulu dari dirinya. Adapun Bisyr Al-Muraisi, maka ia telah binasa pada Dzulhijjah 228 Hijriyah."

Dari Imran bin Musa, dia berkata, "Ketika aku menjenguk Abul Aruq Al-Jallad, orang yang telah mencambuk Imam Ahmad, aku menemukannya selama 45 (empat puluh lima) hari ia hidup menggonggong seperti anjing."

Semua orang yang telah mendera Ahmad bin Hambal mendapat hukuman dari Allah. Sedang mereka yang memaksakan bid'ah terhadapnya dihinakan Allah. Semuanya terjadi karena kekuasaan dan kehendak-Nya dan berkah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.

Setelah Al-Mutawakkil menjabat sebagai khalifah, ia sangat memperhatikan kesejahteraaan, memuliakan dan mengagungkan Ahmad bin Hambal. Dia menulis surat kepada gubernur Baghdad agar datang menghadapnya dengan mengajak Imam Ahmad ke Surra Man Ra'a sebagai pusat pemerintahan.

Abdullah bin Ahmad mengkisahkan bahwa telah datang utusan Al-Mutawakkil Alallah kepada Ahmad bin Hambal. Utusan itu memberitahukan bahwa Al-Mutawakkil mengharap sekali kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya.

Lalu, kami keluar bersama dari Baghdad hingga akhirnya menempati rumah yang sangat bagus. Ketika kami datang, Al-Mutawakkil memperhatikan kedatangan kami dari balik satir. Para dayang memberitahukan hal itu kepada kami, lalu Imam Ahmad memasuki rumah dan Al-Mutawakkil berkata kepada ibunya, "Wahai ibunda, sekarang alangkah terangnya rumah ini dengan cahaya." Al-Mutawakkil kemudian memberikan baju, uang dirham dan baju mantel kebesaran kepada Imam Ahmad.

Namun, Imam Ahmad menyikapi pemberian itu justru dengan menangis seraya berkata, "Sejak enam puluh tahun aku dapat selamat dari ini semua. Akan tetapi, dipenghujung usiaku, Engkau uji aku dengan ini." Imam Ahmad tidak menyentuh pemberian itu."

Al-Mutawakkil selalu mengirimkan uang tunjangan kepada Ahmad bin Hambal, namun Imam Ahmad tidak pemah mau menerimanya. Akibatnya, Al-Mutawakkil berpesan, "Apabila Imam Ahmad tidak mau menerima hadiah uang ini, maka biarlah ia membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya biarpun ia tidak mengambil uang ini sedikit pun."

Tidak itu saja, Al-Mutawakkil juga selalu mengirimkan makanan dan buah-buahan khusus untuk Imam Ahmad, akan tetapi ia juga tidak pernah menyentuhnya.

Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, "Ketika Al-Mutawakkil menyuruh agar Imam Ahmad dibelikan rumah khusus," maka Imam Ahmad berkata kepada Shaleh, "Kalau kamu mengikuti apa yang telah mereka perintahkan kepadamu, maka putuslah hubungan antara kamu denganku." Walau demikian, Shaleh tetap membeli rumah dari uang pemberian Al-Mutawakkil.

Al-Mutawakkil tidak pernah membuat keputusan apapun kecuali setelah bermusyawarah dengan Ahmad bin Hambal. Demikianlah, Imam Ahmad melalui sisa hari-harinya dengan alam kesederhanaan sampai meninggal, dan surat dari Al-Mutawakkil seringkali datang menanyakan kabarnya dan terkadang surat itu untuk bermusyawarah.

9. Guru dan Murid-muridnya

Guru-gurunya: Sebagaimana disebutkan Al-Khathib, di antara guru-gurunya adalah: Ismail bin Ulaiyah, Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Manshur bin Salamah Al-Khaza'i, AI-Muzhaffar bin Mudrak, Utsman bin Umar bin Faris, Abu An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim, Abu Said maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Yazid bin Harun Al-Wasithiyin, Muhammad bin Abi Adi, Muhammad bin Ja'far Ghundar, Yahya bin Said Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Bisyr bin Al-Mufadhdhal, Muhammad bin Bakar Al-Barsani.

Juga tercatat sebagai gurunya: Abu Dawud Ath-Thayyalasi, Ruh bin Ubadah, Waqi' bin Al-Jarrah, Abu Muawiyah Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin 'Uyainah, Yahya bin Sulaim Ath-Tha'ifi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Ibrahim bin Sa'ad Az-Zuhri, Abdurrazaq bin Hammam, Abu Qurrah bin Thariq, Al-Walid bin Muslim, Abu Mashar Ad-Dimasyqi, Abul Yaman, Ali bin Ayyasy dan Bisyr bin Syuaib bin Abi Hamzah Al-Himshiyin.

Selain mereka, masih banyak lagi guru Ahmad bin Hambal. Untuk menyebutkan semuanya, tentu itu akan memberatkan sekali. Al-Mizzi dalam kitab karyanya Tahdzib Al-Kamal menyebutkan bahwa guru Imam Ahmad bin Hambal itu sebanyak 104 (seratus empat) orang. Walau demikian, jumlah itu bukanlah secara keseluruhan. Wallahu a'lam.

Murid-muridnya: Al-Khathib berkata, "Tidak sedikit orang yang telah kami sebutkan sebagai guru-gurunya yang meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Hambal.

Di antara orang yang meriwayatkan hadits dari Ahmad antara lain: Kedua anaknya yang bernama Shaleh dan Abdullah, seorang anak paman Imam Ahmad yang bernama Hambal bin Ishaq, Al-Hasan bin Ash-Shabbah Al-Bazzar, Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani, Abbas bin Muhammad bin Ad-Duri, Muhammad bin Ubaidillah Al-Munadi, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Abu Zur'ah, Abu Hatim Ar-Raziyan, Abu Dawud As-Sijistani, Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marwazi, Ya'qub bin Abi Syaibah, Ahmad bin Abi Khaitsamah, Abu Zur'ah Ad-Dimasyqi, Ibrahim Al-Harbi, Musa bin Harun, Abdullah Muhammad Al-Baghawi dan lain-lain."

Al-Mizzi juga menyebutkan dalam kitab Tahdzib Al-Kamal bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan) di antara murid Imam Ahmad bin Hambal yang merupakan guru-gurunya, yaitu; Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Waqi' bin Al-Jarrah, Yahya bin Adam dan Yazid bin Harun. Orang-orang yang seangkatan dengan dirinya adalah: Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma'in, Duhaim Asy-Syami, Ahmad bin Abi Al-Hawari dan Ahmad bin Shaleh Al-Mashri.

10. Karya-karyanya

Adz-Dzahabi menyebutkan yang ringkasnya adalah sebagai berikut:

Ibnul Jauzi berkata, "Ahmad bin Hambal tidak pernah kelihatan menulis ¬kitab dan dia juga melarang untuk menulis perkataan dan masalah-masalah dari hasil istimbatnya.

Walaupun begitu, dia mempunyai karya yang banyak disamping menelurkan karya Al-Musnad yang di dalamnya terdapat 30.000 (ti) ribu) hadits.

Dia berpesan kepada anaknya yang bernama Abdullah, "Hafalkanlah hadits-hadits dalam kitab karyaku Al-Musnad ini. Sesungguhnya ia akan menjadi imam dan rujukan bagi manusia."

Dia juga mempunyai karya kitab yang lain semisal; At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh ribu) hadits; An-Nasikh wa Al-Mansukh; At-Tarikh; Hadits Syu'bah; Al-Mugaddam wa Al-Mu'akhkhar fi Al-Qur'an; Jawabat Al-Qur'an; Al-Manasik; Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain."

Adz-Dzahabi menambahkan, "Kitab karyanya yang lain adalah Kitab Al-Iman dan Kitab Al-Asyribah. Kedua kitab ini lembaran-lembarannya merupakan lembaran dari kitab karyanya Al-Faraidh.

Adapun kitab karyanya At-Tafsir sebenarnya tidak ada. Kalaupun karya tersebut ada, maka para ulama terkemuka akan berusaha untuk menemukannya. Seandainya juga ada, maka hadits-haditsnya tentu tidak lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) yang kira-kira menjadi lima jilid, karena Tafsir Ibnu Jarir saja atsarnya hanya berkisar 20.000 (dua puluh ribu). Orang yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad mempunyai karya tafsir hanya Abul Hasan bin Al-Munadi dalam kitab karyanya At-Tarikh."

Ibnu As-Sammak berkata, "Hambal berkata, "Ahmad bin Hambal mengumpulkan diriku, Shaleh, dan Abdullah untuk mengajarkan kepada kami kitab karyanya Al-Musnad dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya selain kami.

Dia berkata, "Ini adalah kitab yang aku tulis dan telah aku seleksi lebih dari 150.000 (seratus lima puluh ribu) hadits. Kalau ada perselisihan di antara orang-orang Islam tentang hadits Rasulullah SAW, maka kalian kembalikanlah kepada kitab ini. Kalau hadits tersebut tercantum dalam kitab ini, maka itulah haditsnya, sedangkan apabila tidak ada, maka hadits yang diperselisihkan itu bukanlah Hujjah."

Adz-Dzahabi menambahkan, "Dalam Kitab Ash-Shahihain, terdapat hadits yang tidak ditemukan dalam Kitab Al-Musnad biarpun jumlahnya tidak banyak. Pernyataan, "Kalau ada perselisihan di antara orang-orang Islam tentang hadits Rasulullah SAW, maka kalian kembalikanlah kepada kitab ini. Kalau hadits tersebut tercantum dalam kitab ini, maka itulah haditsnya, sedangkan apabila tidak ada, maka hadits yang diperselisihkan itu bukanlah Hujjah", ini tidak benar. Karena dalam kenyataaannya, terdapat hadits yang dhaif dalam Kitab Al-Musnad tersebut.

Berangkat dari sini, bukanlah suatu keharusan menggunakan Kitab Al-Musnad ini sebagai Hujjah karena di dalamnya terdapat hadits-hadits yang dhaif. Terlebih lagi, di sana juga terdapat tambahan yang tidak esensial dari yang bernama Abdullah."

Tuduhan beberapa orang bahwa dalam Kitab Al-Musnad karya Ahmad bin Hambal terdapat hadits menyerupai hadits maudhu telah ditepis oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karyanya Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabb'An Al-Musnad fi Daf'i Al-Qaul bi Wujud Ahadits Maudhu'ah bi Al-Musnad.

Ibnul Jauzi berkata, "Ahmad bin Hambal juga mempunyai kitab karya lain, yaitu; Nafyu At-Tasybih menjadi satu jilid; Al-Imamah menjadi satu jilid tipis; Ar-Raddu 'an Az-Zanadiqah yang berjumlah tiga juz; Az-Zuhd menjadi satu jilid besar; dan Kitab Ar-Risalah tentang shalat." Adz-Dzahabi menambahkan, "Semua kitab itu juga tidak pernah ditulis Ahmad bin Hambal."

Pernyataan bahwa imam Ahmad juga mempunyai karya Kitab Ash-Shahabah yang dicetak Jami'ah Ummul Qura menjadi dua jilid dengan tahqiq Washshallah bin Muhammad Abbas, Adz-Dzahabi menambahkan, "Di dalam Kitab Ash-Shahabah ini terdapat penambahan dari anak Imam Ahmad yang bernama Abdullah dan teman Abdullah yang bernama Abu Bakar Al-Qathi'i.

Murid-murid Imam Ahmad bin Hambal juga banyak menulis berbagai permasalahan dari Imam Ahmad hingga menjadi sebuah karya kitab.

Di antara murid-muridnya itu adalah: Al-Marwazi, Al-Atsram, Harb, Ibnu Hani', Al-Kusaj dan Abu Thalib. Kemudian Abu Bakar Al-Khalal mengumpulkan semua yang telah dikumpulkan mereka semua, murid Imam Ahmad, ini mulai dari pendapat, fatwa dan perkataan Imam Ahmad menegnai illat hadits, para perawi dan sunnah serta Al-Furu' sehingga terkumpullah data-data dalam jumlah yang sangat banyak. Data-data ini diperoleh Abu Bakar Al-Khallal dengan melakukan rihlah ke berbagai daerah dan meneliti kurang lebih seratus kitab karya murid-murid Ahmad bin Hambal dan dari orang lain dari murid Ahmad bin Hambal.

Setelah itu, Abu Bakar Al-Khallal mengoreksi dan merangkumnya secara tertib lalu mengklasifikasikannya sesuai bab-babnya. Akhirnya, jerih payahnya tersebut menjadi karya kitab yang mencakup Kitab Al-Ilm, Kitab Al-Ilal dan Kitab As-Sunnah yang masing-masing Kitab menjadi tiga jilid."

11. Sebagian Kata Mutiara Darinya

Ketika Ahmad bin Hambal ditanya tentang futuwwah (silat ksatria), maka dia menjawab, "Meninggalkan mengikuti nafsu karena takwa."

Dia juga berkata, "Segala kebaikan yang bersifat penting, maka lekas-lekaslah Anda kerjakan sebelum datang pemisah antara dirimu dan kebaikan tersebut."

Dari Ali bin Al-Madini, dia berkata, "Ketika aku hendak meninggalkan Ahmad bin Hambal, maka aku meminta wasiat darinya. Imam Ahmad berkata, "Jadikanlah takwa sebagai bekalmu dan arahkan pandanganmu ke kampung akhirat sebagai kiblat."

Dia berkata, "Sedikit di dunia sedikit hisabnya."

Dia juga berkata, "Orang boleh berbangga terhadapku apabila ia menghabiskan hartanya untuk menanamkan Al-Qur'an dalam dadanya."

Dari Abd Ash-Shamad bin Sulaiman bin Mathar, dia berkata, "Aku pernah berma lam di rumah Ahmad bin Hambal sehingga dia menyiapkan air shalat untukku. Ketika datang Shubuh dan dia melihat aku tidak menggunakan air tersebut, maka dia berkata, "Bagaimana ulama ahli hadits tidak melakukan wirid di malam hari!" Lalu kujawab, "Aku adalah seorang musafir." Dia lalu berkata lagi, "Walaupun kamu seorang musafir! Sesungguhnya Masruq berhaji dan dia tidak tidur kecuali dalam keadaan sujud."

Dia berkata, "Makanlah makanan ketika bersama teman dengan menunjukkan wajah gembira; ketika makan bersama orang-orang fakir dengan perlahan dan prioritaskan mereka; dan ketika dengan orang-orang yang cinta dunia maka perlihatkan sikap muru'ah."

Tsa'lab pernah masuk kepada Ahmad bin Hambal sedang tempatnya telah dipenuhi orang, sehingga ia lalu duduk di sampingnya. Tsa'lab berkata, "Aku khawatir kehadiranku akan membuatnya lebih sempit lagi biarpun tempat duduk tidak akan terasa sempit dengan saling cinta dan dunia tidak akan luas dengan saling membenci." Kemudian Imam Ahmad menjawab, "Teman tidak perlu dipermasalahkan dan musuh harus diperhitungkan."

12. Sakit dan Meninggalnya

Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, "Aku pernah mendengar ayahku berkata, "Aku sudah menyempurnakan umurku 77 (tujuh puluh tujuh) tahun."

Malam itu mulut ayahku sudah kelu dan akhirnya meninggal pada hari kesepuluhnya."

Shaleh berkata, "Ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah, hari Sabtu ayahku merasakan demam yang tinggi sehingga ketika tidur dia susah sekali bernafas. Aku sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena aku selalu merawatnya ketika kambuh.

Aku bertanya kepadanya, "Ayah kemarin buka puasa dengan apa?" Dia menjawab, "Aku berbuka dengan air Baqila' (sejenis kacang)." Setelah berkata seperti itu, dia ingin bangun dan berkata, "Bantulah aku dengan memegang tanganku."

Lalu, aku pun memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke kamar kecil. Belum jauh berjalan, tiba-tiba dia merasakan bahwa kakinya terasa lemas sehingga dia berpegangan dan bersandar ke badanku. Para dokter mengatakan bahwa penyakit yang diderita ayahku adalah penyakit infeksi kulit kepala (favus).

Hari ini adalah hari Selasa, sementara dia meninggalnya adalah hari Jumat. Ayah berkata kepadaku, "Wahai Shaleh," lalu aku menjawabnya, "Iya, ada apa ayah!" Dia berkata lagi, "Janganlah kamu menjadi berubah sedih baik di rumahmu maupun di rumah saudaramu." Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada di depan pintu untuk menjenguknya merahasiakan kedatangannya, lalu juga Ali bin Al-Ja'd datang yang juga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.

Kemudian, ayahku berkata kepadaku, "Hai Shaleh, apakah yang kamu inginkan!?" Aku berkata, "Apakah ayah mengizinkan mereka untuk masuk mendoakan ayah?" Dia berkata, "Aku mohon petunjuk dari Allah yang terbaik untukku."

Setelah mendengar hal itu, orang-orang mulai masuk secara bergelombang sehingga memenuhi rumah. Mereka bertanya kabar kesehatannya lalu mendoakan dan keluar, lalu diganti dengan gelombang berikutnya hingga akhirnya jalan menjadi padat.

Waktu itu ada seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku berkata, "Sesungguhnya aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah." Ayahku gembira dengan kedatangannya sehingga dia menggerak-gerakkan bibirnya. Sampai waktu itu, ayahku masih melakukan shalat dengan berdiri dan aku membantunya. Dia laksanakan ruku', sujud dan juga kembali dari ruku' dengan sadar betul, karena akalnya masih normal.

Namun pada malam Jum'at, tanggal 12 bulan Rabiul Awal, tepatnya selang dua jam setelah siang hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhirnya."

Al-Marwazi berkata, "Ahmad bin Hambal mulai sakit pada hari Rabu bulan Rabiul Awal. Dia sakit selama sembilan hari. Pada saat membolehkan orang-orang membesuknya, orang-orang pun berdatangan secara bergelombang. Mereka mengucapkan salam dan menyentuh tangannya lalu mereka keluar. Sakitnya semakin parah pada hari Kamis, sehingga aku memberinya air wudhu dan dia berkata, "Bersihkan sela-sela jari." Pada malam Jum'at, sakitnya semakin berat dan akhirnya dia dipanggil menghadap Penciptanya.

Mendengar berita kematiannya tersebut, manusia pada menjerit histeris. Suara yang terdengar hanya isak tangis seolah-olah bumi ini turut bergoncang dan jalan-jalan pun menjadi ramai dipadati manusia."

Hambal berkata, "Ahmad bin Hambal meninggal pada hari Jumat bulan Rabiul Awal."

Mathin menceritakan bahwa dia meninggal adalah pada 12 Rabiul Awal. Keterangan yang demikian ini pulalah yang dikatakan Abdullah bin Ahmad dan Abbas Ad-Duri.

Imam Al-Bukhari berkata, "Abu Abdillah mulai sakit dua malam memasuki bulan Rabiul Awal dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal."

Al-Khallal berkata, "Al-Marwazi berkata, "Janazahnya di keluarkan dari rumah duka setelah orang-orang selesai menunaikan shalat Jum'at."

Adz-Dzahabi berkata, "Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab karyanya Al-Musnad dari Abu Amir dari Hisyam bin Sa'ad dari Said bin Abi Hilal dari Rabi'ah bin Saif dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Tidak meninggal seorang yang berislam pada hari Jum'at kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).

Imam At-Timidzi berkata, "Hadits ini adalah hadits gharib. Sanad hadits tidak muttashil, karena Rabi'ah bin Saif tidak dikenal meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr kecuali melalui Abu Abdirrahman Al-Habli dari Abdullah bin Amr. Hadits ini mempunyai sanad lain sebagaimana disebutkan As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah yang jalur periwayatan haditsnya dianggap hasan."

Shaleh berkata, "Ibnu Thahir selaku perwakilan dari Baghdad menghadap dengan asisten Muzhaffar yang ditemani dua orang yang masing-masing membawa tentengan yang berisi kain kafan dan wangi-wangian. Mereka berkata, "Amirul Mukminin mengirim salam untuk kamu." Shaleh menjawab, "Paduka telah melakukan sesuatu yang apabila Amirul Mukminin datang, dia juga akan melakukannya." Muhammad bin Abdillah bin Thahir turut menyalati jenazah Imam Ahmad dan hadir pula sekitar seratus orang dari Bani Hasyim."

Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan mengkisahkan bahwa ia mendengar Al-Mutawakkil berkata kepada Muhammad bin Abdillah, "Wahai Muhammad, sungguh kamu telah beruntung bisa menyalati jenazah Ahmad bin Hambal."

Abu Bakar Al-Khallal berkata, "Aku telah mendengar Abdul Wahab Al-Warraq berkata, "Kami belum pernah tahu ada kumpulan manusia sebanyak ini, baik di masa Jahiliyah maupun setelah masa Islam. Semua tempat penuh dengan manusia. Jumlah mereka yang turut mengiring jenazahnya mencapai sekitar 1.000.000 (satu juta) orang. Turut hadir di pekuburannya perempuan sekitar 60.000 (enam puluh ribu) orang. Begitu banyaknya manusia, sehingga para penduduk setempat membuka pintu rumah mereka untuk tempat wudhu."


Sumber : Kitab Min A'lam As-Salaf
Penulis : Syaikh Ahmad Farid

Sumber web: forum.arrahmah.com
Lanjutkan Membaca ...