HATI-HATI 10 HAL PEMBATAL SYAHADAT

Allah telah mewajibkan bagi seluruh hambanya untuk masuk ke dalam Islam dan berpegang teguh dengan ajaran-Nya dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang darinya....

Mengenal dan Memahami Manusia dalam ISLAM

Inilah hal pertama yang harus kita pelajari dalam islam yaitu mengenal manusia, mengenal diri kita. Jika ada anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya,....

Trading Forex Modal Gratis 15$

Anda mudah dalam Membuka Account Live untuk transaksi real, tidak terbatas membuka akun demo sebagai sarana untuk menguji atau latian, berbagai jenis account forex...

Mengenal Al-Quran.

Al-Quran berasal dari kata : ?َ?? - ???? - ????? - ????? berarti bacaan. Al-Quran adalah Kalamullah yang mulia dan terpelihara

Mengenal Allah

Mengenal Allah SWT, adalah suatu bagian terpenting bagi seorang yang mendeklarasikan dirinya seorang Muslim. Manalah mungkin ia bisa mengatakan dengan lantang bahwa dirinya muslim, sementara ia tidak mengenal dan memahami Allah yang menjadi sembahannya.

Skenario Global Kehidupan Manusia

Kehidupan dibumi telah dilalui pada suatu masa yang penuh dengan kegelapan. Tidak ada toleransi dan persamaan hak diantara mereka. Pertumpahan darah dan permusuhan berlangsung sebagai suatu hal yang biasa.

Makna Dien-ul-Islam

Sesungghnya Islam itu dien samawi yang befungsi sebagai rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Din Islam memiliki nilai kesempurnaan yang tinggi, lagi pula sesuai dengan fitrah manusia dan cocok dengan tuntutan hati nuranimanusia seluruhnya sebagai makhluk ciptaan Allah dalam menerima Dinullah yang hak.

14 Jan 2012

URGENSI BERKORBAN | "Harta, Kemanakah Kau Habiskan?"

Secara syakhsiyyah maupun jama’ah, tujuan hidup manusia menurut Al-qur’an adalah mencari mardhotillah/pengakuan dari Allah[1]. Mardhotillah berarti Maghfiroh, berarti pula fasilitas surga kepunyaan Allah adalah menjadi haknya.

Ibadah adalah tugas satu-satunya manusia dilahirkan ke alam dunia[2]. Bentuk konkrit ibadahnya adalah menegakkan Dienullah / Kalimatillah dengan mengikuti pola, metode, dan sunnah Rasulullah dengan segala konsekuensinya.

Konsekuensi dalam mengemban tugas untuk mencapai tujuan manusia adalah adanya pengorbanan yang berupa tenaga, waktu, pikiran, dan harta kekayaan (amwal dan anfus). Besarnya pengorbanan yang diberikan menunjukkan kualitas manusia tersebut sekaligus menjadi barometer seberapa jauh tujuan hidupnya akan dapat tercapai.

Pentingnya melakukan tazkiyah khususnya tazkiyah maliyah sebagai wahana penyucian diri dan harta agar terpelihara baik sehingga tumbuh menjadi baik[3] bersih aqidahnya, tumbuh dengan baik keinginan (himmah) dan aktifitas (amaliyah) Islamiyyah-nya, jauh dari godaan syaithan yang pada gilirannya sanggup dan senantiasa membenarkan syahadah-nya/shadiqin[4].

Jadi di satu sisi, Islam telah jelas menekankan keharusan ummat ikut serta dalam menyisihkan hartanya untuk menderaskan dan melancarkan pelaksanaan dakwah Islamiyyah. Sudah jelas kiranya bagaimana dalam lembaran-lembaran sirah diceritakan pengorbanan Rasulullah saw dan para sahabat-sahabatnya secara totalitas menggunakan harta kekayaannya demi tegaknya Islam.

Di sisi lain implikasi dari pengorbanan ini dirasakan sendiri oleh pelaku baik secara langsung maupun tidak, Kondisi ekonomi yang tidak membaik, kesejahteraan yang tidak pernah tercapai bukan mustahil akibat dari manusia yang mengabaikan konsep tazkiyah maliyah ini[5]. Sebaliknya ada yang terus menerus mendapatkan rizki yang melimpah dan senantiasa berkecukupan padahal setiap saat hartanya ia sisihkan dan korbankan. Semakin besar yang ia korbankan maka semakin besar pula yang akan ia dapatkan karena besar kecilnya nikmat Allah dalam bidang ekonomi tergantung besar kecilnya harta yang dikorbankan dalam perjuangan Islam.

Selain akan meningkatkan kondisi perekonomian pelaku, dengan mengorbankan sebagian hartanya maka pelaku tidak akan dilanda kesedihan dan ketakutan bahkan akan merasa tenang dan tenteram[6].

SETIAP UPAYA UNTUK MENCAPAI TUJUAN MEMERLUKAN PENGORBANAN

Islam mengajarkan bahwa dalam setiap upaya pencapaian tujuan maka diperlukan pengorbanan, baik berupa tenaga, waktu, harta, jiwa dan raga (amwal dan anfus). Kedua bentuk pengorbanan ini merefleksikan wujud pengorbanan yang seutuhnya yang mampu menghantarkan pelakunya lebih dekat kepada tujuan yang diharapkan yakni Mardhotillah. Tidak bisa hanya mengorbankan atau berjihad didalam satu bentuk saja amwal atau anfus. Keduanya harus seiring sejalan. Karenanya Allah senantiasa sandingkan jihad amwal dengan anfus.[7]
Rasulullah SAW juga menugaskan dalam ucapan beliau tentang jihad harta;

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, nyawa dan lisan kalian.”(HR Abu Dawud).
“Siapa yang memberangkatkan (mendanai) orang yang berperang di jalan Allah, berarti dia juga ikut berperang.”(HR Bukhari)

Jadi bukan hal yang aneh lagi jika profesi seorang penegak kalimatillah sarat dengan pengorbanan disetiap langkahnya dan tindakannya. Seorang Mujahid yakin bahwa segala sesuatunya tercatat dan akan mendapatkan balasan. Balasan yang kuantitas dan kualitasnya jauh lebih baik dari apa yang sudah dikorbankan. Mujahid sadar bahwa kebaikan itu akan dibalas dengan balasan sepuluh kali lipat atau bahkan tujuh ratus kali lipat. Oleh karenanya Mujahid tidak takut untuk mengorbankan segala sesuatu yang ada pada diri karena tentu akan mendapatkan balasan yang lebih!

Setiap Perbuatan diperoleh dengan pengorbanan. Para Rasulullah tidaklah ragu untuk mengorbankan apapun yang dicintai untuk taqarrubilallah dan membuktikan kecintaan terhadap Allah. Bagaimana Nuh as tetap ta’at kepada Allah ketika diperintah untuk tidak menyelamatkan anaknya Kan'an dikarenakan anaknya ini termasuk golongan penentang Jama'ah. Begitu juga Ibrahim as, selaku pelanjut Nuh as, telah mampu tampil sebagai uswah hasanah dalam pengejewantahan nilai-nilai tauhid secara paripurna. Karena hampir setiap sisi kehidupannya dipenuhi pengorbanan demi terpeliharanya tauhid. Isma'il as dengan penuh kesabaran dan berserah diri kepada Allah secara utuh menerima perintah meskipun jiwa, raga dan nyawa yang harus dikorbankan. Demikian pula Ishaq as menjadi pelanjut risalah tauhid yang dibawa oleh bapaknya. Musa as demi keutuhan tauhid meninggalkan berbagai kesenangan duniawi yang terdapat dalam istana Fir'aun. Dengan ditemani Harun as, Musa as secara sadar menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya ketika mendatangi Fir'aun guna menyerukan tauhid. Ilyas as dengan berani menghadapi kaumnya untuk menyerukan kembali kepada ajaran tauhid. Luth as sanggup meninggalkan istrinya ketika menolak diajak untuk bergabung kedalam Jama'ah. Yunus as dengan penuh kerinduan kepada Allah, menjalankan rangkaian ketetapan Allah dengan penuh kesabaran.

Dengan kuantitas dan kualitas ujian berbeda yang diterima oleh para rasulullah seperti yang disebutkan di atas, pada gilirannya membuahkan turunnya tolong dan karunia Allah kepada mereka. Ini disebabkan para rasulullah dalam menghadapi berbagai ujian senantiasa ta'at dan menjaga keikhlasan.

Pengakuan bahwa setiap upaya membutuhkan pengorbanan ini sudah ada di kalangan umum bahkan dikalangan orang-orang kafir. Adanya slogan ”tidak ada yang gratis di dunia ini” menunjukkan bahwa segala perbuatan dengan tujuan yang baik ataupun yang buruk merupakan kemustian harus diperoleh dengan pengorbanan, apakah pengorbanan harta, waktu, tenaga, perasaan bahkan nyawa.

Raja Fir’aun berani mengorbankan istrinya, rakyatnya, hartanya dan terakhir nyawanya demi mempertahankan keyakinannya bahwa hanya dirinyalah yang maha berkuasa[8]. Abu Jahal (Abu Lahab) seorang pakar hukum negara Mekkah dengan gigihnya mempertahankan keyakinan kebenaran hukum positifnya dibantu istrinya membendung arus berkembangnya kebenaran ajaran Al-Qur’an sebagai pandangan hidup umat Muhammad, dia rela berkorban dengan mengabdikan dirinya dan seluruh harta kekayaan bahkan bisnisnya demi mempertahankan keyakinan aturan hukum jahiliyah sampai dia menemui ajalnya[9].

Kaum Yahudi sampai hari ini terus mengumpulkan dana dari berbagai sumber yang akan mereka korbankan demi eksistensi kaumnya dan menghapus keberadaan musuh-musuh mereka. Di antara lembaga Yahudi yang sangat giat menjalankan proyek Zionisme adalah Jewish Agency (Agen Yahudi) dan Jewish National Fund (Lembaga Keuangan Nasional Yahudi). Lembaga ini menerima sumbangan dari seluruh orang Yahudi di dunia. Mereka mendapat dukungan penuh dari kelompok Kristen-Zionis yang saat ini lebih dikenal dalam jajaran pemeritahan Amerika Serikat dengan kelompok Konservatif Baru (neo-conservative). Dan, salah satu tokoh utamanya adalah mantan presiden Amerika sendiri, George W Bush.

Menjadi ironis apabila seorang muslim yang sudah mengikatkan dirinya, menjual harta dan dirinya kepada Allah SWT dengan jaminan kebahagiaan jannah yang abadi[10], tetapi dalam kenyataannya masih mencintai, menguasai harta dan dirinya yang sudah dijual itu untuk digunakan diluar kepentingan pembelinya yakni Allah SWT, Rasulullah dan Jihad untuk meninggikan Dien-Nya. Mereka merasa berat mengeluarkan sebagian hartanya, takut ditinggal keluarganya, sibuk dan lupa karena urusan bisnisnya, malas keluar rumah untuk berda’wah menyebarkan kebenaran Rabb-Nya[11]

ZAKAT, INFAQ DAN SHODAQOH

Zakat berasal dari kata “zakaa” berarti tumbuh, berkembang, digunakan untuk harta berarti mensucikan.
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti ‘mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu’
Shodaqoh, satu akar kata dengan “Shidiq” berarti benar, jujur.
Karena mengeluarkan zakat menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya harta sesuai dalil bahwa ”harta tidak berkurang karena sedekah”.
Karena zakat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan dosa-dosa.
Karena shodaqoh, seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya terbuktikan kebenaran keimanannya.

_________________
Referensi:
[1]QS. AlBaqoroh [2]:207-208
[2]QS. Adz-Dzariyat[]:56
[3]QS. At Taubah [9]:103
[4]QS. Al Lail [92]:18, QS. Al Hujuraat [49]:15
[5]QS. Al Baqoroh [2]:261, 265
[6]QS. At Taubah [9]:60, 103, QS. Al Baqoroh [2]:274
[7]QS. Ash Shaff [61]:11; QS. Al Hujuraat[49]:15; QS. Al Anfaal [8]:72; QS.An Nissa[4]:95;QS. At Taubah [9]:88, 44, 41
[8] QS. Al Qashash [28]:38
[9] QS. Al Lahab [111]:1-5
[10] QS. At Taubah [9]:111
[11] QS. At Taubah [9]:38-42


Sumber : Studi Komprehensif ISLAM
Lanjutkan Membaca ...

Status “Pemerintahan Islam“ dalam konteks “Aplikasi Syari’ah (Hukum)"

Berdasarkan fakta historis “Kronologis Tertib Nuzul Al-Qur’an” bahwa wahyu yang pertama diturunkan adalah QS Al-'Alaq (96) ayat l-5. Dengan nuzulnya surat Al’Alaq ini Muhammad bin Abdillah terpilih dan definitif sebagai “Nabiyullah” dan “Rasulullah” di bumi.[1] , Hal ini mengindikatorkan secara kuat bahwa “Eksistensi Kepemimpinan/Risalah kenubuwahan (Pemerintahan Islam)" adalah Muthlaq keberadaannya dalam hubungan “Tanfidzul Ahkam/Syari’ah”.

Pada QS Az Zukruf (43) ayat 29 mengukuhkan “Kehadiran Al-Haq (Al-Qur’an) di bumi dan Bi’tsah (pengangkatan) kerisalahan Nabi Muhammad saw (Qiyadah/Kepemimpinan)” sebagai suatu yang integral. Sebab Hakikatnya Qiyadah tersebut sebagai “Simbol Penanggung Jawab Amanah Allah" di bumi, yang dalam bahasa lain disebut “Khilafah fil-Ardhi”. Betapa urgensinya “Kepemimpinan dalam Islam, sehingga dipandang kembali “Berstatus Jahiliyah” dengan bahasa Al-Qur’an “Inqalabtum ‘ala A’qaabikum” jika terjadinya vacum kepemimpinan dan tidak dilanjutkan, (Lihat Al Quran Surat Ali-Imran (3) ayat 144.[2]


Benarlah ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ketika hadir dalam “Syura ummah” (Mu’tamar Siyasi) di Balai Bani Sa’idah, dengan kewafatan Rasulullah SAW. Abu Bakar berkata: “Ya ayyuhan- Nas, Laa budda li Hadza l-Din man yaquumu bihi..” (Bahwa mesti bagi Din ini ada orang yang bertanggung jawab). Dalam konteks ini tidak ada seorang Sahabatpun yang berbeda pendapat, kecuali tentang calon personalnya.[3]

Demikian pula fakta historis “Tanzilul- qura’an” pada periodesasi Makkiyah pra Hijrah, bila ditinjau dari “Isi materi kandungan ayat-ayatnya” lebih dititik beratkan pada “Tasyri’ul- Aqidah dan Takwinul- Akhlaq”.[4] Hal ini mengimplikasikan “Adanya tingkat kwalifikasi aqidah-ideologis yang mengkarakter dalam setiap individu pimpinan dan Jama’ah umat yang dibangun Rasul di Mekkah”. Mereka dalam sebuah “Jama’ah Komunitas kecil dan tertindas” berada di wilayah yurisdiksi hukum Penguasa Kuffar Quraisy Mekkah yang hegemonik, mampu tetap mempertahankan Aqidahnya, walaupun di antaranya mesti dengan “Syahid” seperti yang dialami oleh Keluarga Amar bin Yasir.

Bahwa “Tanzilul-Qur’an phase Makkiyah” sebuah tahapan gradualitas: “Pendekatan Persuasif dalam konteks ideal-moral spesiflk Hukum” sebelum “Tasyri’ul- Ahkam al-’Amali pada periodesasi Madaniyah” diaplikasikan. Hal ini sekali lagi mengisyaratkan bahwa “Kebijakan sosialisasi formalistik sepesifik Hukum sangat bergantung pada “Authority of Power" yang dimiliki oleh Lembaga Kepemimpinan Risalah secara De yure dan De facto. Di periode Makkiyah komunitas Islam lemah dan tertindas, berbeda situasinya pada perlode Madaniyah Islam memegang “Supremasi Kekuasaan yang disebut “Negara Madinah”. Maka di sini “Al-Qur’an bicara tentang Tasyri’ul-Ahkam”. Perlu digaris bawahi “Eksistensi negara syari’ah (Madinatur Rasul)” lahirnya merupakan “Proses Thabaqan ‘an Thabaq dari “Manhaj Rabbani”. Hal ini dibuktikan “Bahwa Hijrah Rasul ke Madinah” semata-mata dilandasi “Perintah Allah SWT bukan dimotifasi oleh faktor-faktor eksternal sosiologis. Al-Qur’an secara tegas menyatakan “Benarnya pandangan ini”.[5] Oleh karenanya sangat tidak dimengerti bila ada yang mengatakan “Bahwa Kepemimpinan Muhammad SAW sebagai Kepala negara dalam komunitas Madinah adalah "Bukan bagian dari peran dan tugas kenabiannya”.[6] Sikap-parsialistik terhadap Al-Qur’an diancam dengan Azab Allah (lihat: Al Quran Surat Al Hijr (15) ayat 90-93)[7] Penolakan terhadap eksistensi Madinah sebagai bagian misi ke-nubuwah-an Nabi Muhammad SAW maka status hukumnya kufur kepada sebagian Al-Qur’an. Karena Madinah Rasul itu sendiri adalah “Realisasi Prinsip Hijrah”, dan sekaligus merupakan tingkat tahapan gradualitas Lembaga Risalah Nubuwahnya Muhammad saw berdasarkan “Program Rabbany" (Kronologis Tertib nuzul wahyu).
Kesimpulan: dapat digaris bawahi, Pemerintahan Islam; “Khilafah fi Madinatir-Rasul” integral dengan “Tasyri’ul- Ahkam “, dan merupakan “Syarat muthlaq” bagi terselenggaranya hukum-hukum syari’ah tersebut”.[8]


Al-Madinatul-Munawwarah atau disebut “Madinatur-Rasul” itu adalah “Sebuah Negara Syari’ah” dimana “Bai’ah Aqabah I dan Aqabah II” adalah sebuah Dokumentasi Fakta Historis-Empirik “Al-MITSAQ/ AQAD” berdiri dan lahirnya Daulah Islamiyah tersebut.[9] Fakta historis Bai’ah Aqabah ini tidak bisa ditolak kevaliditasannya. Sejumlah Pemikir/Ulama Islam di antaranya secara jujur menyatakan “Bahwa Bai’at Aqabah I dan II tersebut merupakan proto sosial-politik untuk hijrah ke Madinah dan batu fundamen pembinan Negara Islam yang pertama dinegeri itu “.[10]


Bicara “Madinatur-Rasul” berarti bicara tentang eksistensi "Pemerintahan Islam” yang berstatus “Khilafah Nubuwah” yang secara prosedur Syar’i “Definitif kepemimpinannya”[11] dalam mengemban “Amanah Allah SWT”. Dan sekaligus juga (dengan Madinatur-Rasul) berarti bahwa Al-Qur’an dalam kontek Tasyri’ul- Ahkam dan aplikasinya hanya di sebuah wilayah yurisdiksi hukum Islam. Sebagai ilustratif: Status Syari’at Jihad dalam arti qital, berdasarkan “Kronologis tertib nuzul Al-Qur’an” ayat “Perintah Perang”[12] diturunkan pada tahun 13 kenabian setelah selesai dan terjadinya “Bai’ah Aqabah ke-2" proses tahapan Hijrah ke Madinah.[13] Dimana tercatat dalam fakta dokumentasi sejarah bahwa pelaksanaan aplikasinya setelah Nabi Muhammad SAW berada di Madinah.

Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, dalam kitabnya Fiqhus-Sirah, yang dialih bahasakan oleh Aunur Rafiq ShaIeh, Lc. dengan judul “Sirah Nabawiyah, Analisis ilmiyah Manhajiyah Sejarah Pergerakan Islam di masa Rasulullah SAW” mengemukakan tentang: Hukum disyari’atkan Qital, bahwa menurut “pendapat yang disepakati, ayat jihad yang pertama kali diturunkan ialah firman Allah QS.Al-Hajj (22) ayat 39:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”.

At-Tarmizi dan Nasa’i meriwayakan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Ketika Nabi saw diusir dari Makkah, Abu Bakar berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”. Mereka telah mengusir Nabi mereka. Sungguh mereka akan binasa”.

Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: “Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Uzina lil-ladziina yuqaataluuna bi annahum zhulimuu,[14] Abu Bakar berkata: “Kemudian aku tahu bahwa sebentar lagi akan terjadi Qital”.[15]

Selanjutnya Dr. M.S. Ramdhan Al-Buthy menyatakan hasil kajiannya:

“Adalah rahmat Allah kepada hamba-Nya bahwa Allah tidak mewajibkan Qital kecuali setelah adanya “Darul Islam” yang dapat dijadikan tempat berlindung dan mempertahankan diri. Dan dalam kaitan ini Madinah adalah “Darul lslam” yang pertama.[16] Kesimpulannya ini, berdasarkan tinjauan aspek hikmah ditasyri'-kannya Qital. Namun pandangan tersebut cukup signifikan dan valid untuk memperkuat keyakinan bahwa “Al-Qur’an secara kronologis nuzulnya dalam 2 periodesasi Makkiyah Madaniyah” adalah merupakan “Manhaj Rabbani”. Dan fakta empirik membuktikan “Bahwa Tasyri’ al-Ahkam secara aplikatif” diberlakukan Al-Wilayah yurisdiksi hukum yang disebut negara “Madinatul Munawwarah”. Pada Periode Makkiyah pra Hijrah, ada nash Al-Qur’an yang sharih (eksplisit-signifikan) “Mahrumul-qital/larangan qital” dengan menggunakan istilah “Kuffu Aidiyakum”.[17] Ayat ini nuzulnya di Madinah, mengilustrasikan kembali tentang fenomena tuntutan izin Qital kepada Rasulultah saw ketika masih di Makkah.

Riwayat Ibnu Jarir dengan Sanadnya bersumber dari Ibnu ‘Abbas, ia (Ibnu Abbas) berkata: “Sesungguhnya Abdurruhman bin ‘Auf dan sejumlah Shahabatnya menemui Nabi saw dan mereka berkata: “Ya Rasulullah, dulu kami adalah orang yang mulia, sementara ketika itu kami musyrik. Sekarang kami telah beriman kita dihina, (I’zan lana fi Qitaalihim” = ijinkan kami untuk memerangi mereka Kuffar Quraisy”).[18] Maka Jawab Rasul SAW: “Inni umirtu bil-’Afwi fala tuqatilu” -sesungguhnya aku diperintahkan untuk mema’afkan, oleh karena itu jangan memerangi mereka”. Dan ketika Allah telah merubah situasinya menjadi Madinah “diturunkan Perintah Qital” ternyata sebagian mereka “Kaffuu = Menahan diri untuk berperang”, maka Allah SWT menurunkan Al Quran Surat An-Nisaa (4) ayat 77.[19] Bahkan perlu dicatat bahwa hingga terjadinya ‘Aqabah II, Qital belum disyari’atkan. Terbukti dengan Jawaban Rasul ketika selesai “Pembai’atan”, terhadap salah seorang sahabat Anshar “Abbas bin ‘Ubadah bin Niflah” yang meminta izin perang “Menyerang penduduk Mina”, Rasulullah saw berkata: “Lam nu’mar bi dzalika, wa lakin irji’uu ila rihalikum” (Kita belum diperintahkan untuk itu, tetapi kembalilah ketempat perkemahanmu).[20]

Demikian status dan kedudukan “Pemerintahan Islam" dalam perspektif Nubuwah yang secara otoritatif-syar’iyah diberi “Peran dan tanggung jawab Amanah risalah” untuk membumikan Al-Qur’an berdasarkan “Manhaj Rabbani” yang teraplikasi dalam “Sunnah Rasul”.

Dr.Samih ‘Ahif az-Zain dalam bukunya: “Al-Islam Khuthuthun ‘Aridhah: al-Iqtishad-al-Hukm-al-Ijtima’” bicara “Tentang kepemimpinan/Al-Qiyadah dan hubungannya dengan Syari’ah Islamiyah”. Disimpulkannya bahwa mutlaknya eksistensi dan berdirinya Kekhilafahan bagi umat Islam. Disamping dikemukakannya sejumlah dalil dan argumentasi sunnah dan ijma’ para sahabat, dinyatakannya pula bahwa aplikasi hukum-hukum syari’at Islam adalah kewajiban bagi kaum muslimin, dan harus berdasarkan dalil yang pasti dalam ketetapan dan petunjuknya. Dan hal ini tidak akan terjadi kecuali melalui hakim yang mempunyai kekuasaan/otoritas, yaitu “Khalifah kaum muslimin”.[21] Maka dalam “Perspektif Paradigma Nubuwah” diyakini secara pasti bahwa “Tathbiqu sy-Syari’ah” mesti diawali dengan diwujudkannya Pemerintahan Islam yang disebut “Khilafah ‘ala Minhajin-Nubuwah”. Dan kemudian secara gradual Lembaga Kepemimpinan tersebut berproses menuju terbentuknya “Iqamatu d-Daulah" (lahirnya Madinah dengan prinsip Hijrah) dan Futuh Makkah menuju “KHILAFAH FIL-ARDHI” sesuai dengan “Manhaj Rabbani”, yaitu berdasarkan Khiththah kronologis tertib nuzud Wahyu Al-Quran, sebagaimana sunnah yang terjadi pada masa Rasul saw.[22]

__________________
Referensi:
[1] Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Mu’jizat Al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakara,1966, hal.l0-l 1. Dikemukakan ada perbedaan waktu pengangkatan Muhammad saw sebagai Nabi yakni pada Senen, 8 Rabi’ul-Awwal, 41 Tahun Gajah, dengan nuzul QS Al-’Alaq:96/l-5; dan waktu pengangkatan beliau sebagai Rasul, yakni pada Ramadhan dengan nuzulnya QS.Al-Muddatsir: 74/1-7. Dalam versi, lihat Al-Quran dan Terjemahannya (Muqaddimah) tentang: “Sejarah Ringkas Nabi Muhammad saw, hal.59. bahwa dengan nuzulnya QS.Al-‘Alaq. 96/1-5 (wahyu pertama) pada malam 17 Ramadhan / 6 Agustus 610 Musehi di gua Hira.beliau Muhammad saw dinobatkan sebagai: “Rasulullah”, dan dengan QS. 74/l-7 memperjelas: “tugas kerja kerisalahannya”.
[2] QS.Ali Imran:3/144, diturunkan pada tahun ke III Hijrah, berkaitan dengan peristiwa “Perang Uhud” bahwa Muhammad saw diisukan mati terbunuh. Berita ini berdampak negaif dan mengacaukan kaum muslimin.(lihat Asbabun-nuzul, KH.Qamaruddin dkk, hal 11-113).
[3] Lihat: Dr.Muhammad Salam Madkur, Ma’alimud-Daulah Al-Islamiyah, Bab II, hal.241
[4] Asy-syeikh Muhammad Al-Khudhari Bik Tarikhut-Tasyri’il-Islami Darul-Fikr. Cet.II,1387 H/ 1967 M.HaI.14-15.
[5] Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya.Dept.Agama Rl, Jakarta, 1982/1983, hal. 436. Penjelasan QS.Al-lsra’:17/76; dengan catatan kaki no.863: Masudnya kalau sampai terjadi Nabi Muhammad saw diusir oleh penduduk Mekah, niscaya mereka tidak akan hidup lama di dunia, dan Allah akan segera akan membinasakan mereka. Hijrah Nabi Mahammad saw ke-Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy, melainkan semata-mata karena perintah Allah.
[6] Prof.Dr. Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Penerbit Renaisan, Cet. I, Juni 2005, Hal. 150. Dikemukan, bahwa ada pandangan seorang guru besar di-Universitas Al-Azhar (Mesir) berkata: “Bahwa kekuasaan agama dan administrasi Nabi terpisah. Pemerintahan Muhammad atas komunitas Madinah bukan bagian dari misi kenabiannya. Dan para khalifah penggantinya hanya meneruskan kekuasaan temporalnya (Binder;1988).
[7] Lihat: Al-Qur’an dan Terjemahnya, Dept. Agama RI, hal-399. Yang dimaksud dengan Al-Muqtasimiin (QS. 15/90) = 0rang-orang yang menerima sebagian isi Kitab dan menolak sebagian yang lain. Maksud QS.15/91 nya: Yakni orang-orang Yahudi dan Nashrani yang membagi-bagi Al-Qur’an. Ada bagian yang mereka percayai dan ada pula bagian yang mereka ingkari.
[8] QS. 4/58,59,60,64,65,80,83,105; QS.9/71
[9] Lihat QS.Al-Isra’:17/80,81; QS.Al-Maidah:5/7; AI-Hadits, Rasulullah saw berkata: “Innallaha ‘Azza wa Jalla qad ja’ala lakum ikhwaana wa daaran ta’manuuna biha”.
[10] Ramli Kabi’ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, MA, Bai’at Satu Prinsip Gerakan Islam (judul aslinya; Al-Bai’ah fi-Nizhamis-Siyasi al-lslami), El-Fawaz Press, Cetakan pertama 1413 H/ 1993 M, hal.21-22. (lihat: Munir Muhamniad Ghadban, Kompromi Politik dalam Islam (judul aslinya: At-Tahaluf As-Siyasi fil-lslam), Pustaka Al-Kautsar, hal.468). Juga lihat Dr.Muhammad Hamidullah dkk, Politik Islam dan Dokumentasi, Pt.Bina Ilmu,1987, hal.62-65.
[11] Bahwa “Definitifnya Qiyadah Al-Islamiyah: Khilafah Nubuwah” berdasarkan prosedur Syar’i: “Al~Ikhlilaf”. Istikhlafnya para Nabi (secara langsung/direct) dengan istilah Qurani: “Al-Mitsaq” (QS.33/7-8; QS.AIi Imran:3/81). Dan istikhlafnya di luar para Nabi (secara tidak langsung/indirect) dengan istilah Qur’ani: “Syura” (QS.As-Syura: 42/38; QS.Ali’fmran:3/159). Mereka bukan Nabi, namun status kepemimpinannya adalah: “Menempati maqam Nubuwah” Rasulullah sendiri menyebutnya -”Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwah”. Contoh: “Kepemimpinan Abu Bakar As-Shiddiq ra” di-Definitifkan melalui prosedur istakhlaf: “Syura”. Beliau bukan Nabi tapi kepemimpinannya berstatus “Maqam Nubuwah”.
[12] QS. 22/39
[13] Lihat: Muhammad ‘Ali As-Shabuni, Rawai’ul-Bayan Tafsir Ayatil-Ahkam minal-Qur’an, Darul Fikri, Juz I, hal.228,229,230-231. Diangkat tema tentang: “Kapan disyari’atkannya Jihad kepada Al-Muslimun, dan ayat apa yang diturunkan pertama: “Perintah Qital”, Dijelaskan bahwa Para ‘Ulama berittifaq: “Qital pada periode Makkiyah qablal-Hijrah dilarang (Mahzhurul-Qital)” dengan berargumentasi sejumlah nash-nash Al-Qur’an Makkiyah (QS.23/96; QS.16/82; QS.25/63...). Dan ayat pertama; tentang Qital (Izin Qitat) adalah QS.AI-Hajj:22/39, kemudian QS:2/190.
[14] QS. 22/39
[15] Dr.Muhamad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Robbani Press, Cet. ke-IX,1426 H/ Mei 2005 M, hal.l45.
[16] Ibid, hal. 146 (lihat dalam Kitab-nya :Fiqhus~Sirah, hal.169). Bahwa “Tasyri’ul Ahkam tentang Syari’at Qital dan aplikasinya berhubungan erat dengan eksistensi wilayah hukum yang disebut negara: “Madinatul-Munawwarah” ( Penulis).
[17] QS. 4/77
[18] Kalimat: “I’zan lana fi Qitalihim” tidak tercantum dalam matan/redaksi Hadits Riwayat Ibnu Jarir tersebut, oleh karenanya diberi tanda kurung, Hanya dalam riwayat lain ada disebut: teks kalimat itu dan jawaban Rasul: “Kuffu bi Aidikum bi anni lam uumar bi qitalin”.
[19] Muhammad ‘Ali As-Shabuni, Tafsir Ayatil-Ahkam ,Darul Fikri.Juz I, hal. 229.
[20] Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, Op Cit,142.
[21] Dr. Samih ‘Athif az-Zain, Syari’at Islam Dalam Perbincangan Ekonomi, PoIitik, dan Sosial, sebagai Studi Perbandingan, Penerbit Husaini Bandung, Cet Pertama, l988, hal. 18-20, Lihat: Dr.Muhammad As-Sayid AI-Wakil, Al-Qiyadah Wal-Jundiyah Fil-Islam, hal. 18-23 menyimpulkan bahwa: “Inna Muhimmatal-Khalifah fil-lslam Hiya Tathbiqus-Syari’ah al-lstamiyah, wal-Muhafazhah ‘ala Nizhomid-Daulah, Muwafiqan lil-Kitab was-Sunnah” (Orgensinya Al-Qiyadah/Khilafah dalam Islam adalah “Tathbiqus-Syari’ah, dan memelihara Sistem Negara agar tetap konsisten terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dikatakannya bahwa: “Al-Khilafah fil-Haqiqah, khilafatun ‘an Shahibis-Syar’i fi Hirasatid-Din wa-Siyasatitid-Dunya” (Khilafah itu pada Haqikatnya/substansinya adalah: “Mandataris Maha Pemilik Syari’ah (Allah SWT) dalam pengawalan dan pemeliharaan Din dan politik dunia”)
[22] Perhatikan kembali QS.Al-Alaq.96/l-5; QS.AI-Muddasir.74/l-7 -.”Lahir dan definitifnya Institusi Risalah nubuwah” dengan prinsif Hijrah “War-Rujza fahjur” (= Uhjur ‘ibadatal-Autsan wa jami’il Maatsim al-Mujibah lil-‘Azab, arti ini dari Al-Qur’an Mufradat Dr.Muhammad Hasan al-Hamshy, hal. 575. Lihat QS.Al-Qalam.68/l-9, sikap Bara’ah/Hijrah dari lembaga kepemimpinan Jahiliyah Quraisy Makkah dan mewaspadai makar halus mereka. Nabi, selanjutnya QS.AI- Muzzamil. 73/10 “Perintah Hijrah Jamil dan Sabar terhadap caci maki mereka. Al-Qur’an mengilustrasikan situasi jama’ah Rasul di-Makah dalam QS.AI-Anfal. 8/26 = Iz antum Qolilun Mustadh’afun fil-Ardhi, Takhafuna an Yatakhaththafakunmn- Nas, artinya: Ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut diculik oleh orang-orang (Mekah). Dan dalam ayat itu selanjutnya dikatakan: “Fa Awaakum” artmya: “Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah)” yang dalam fakta hitoris itulah “Negara Madinatur-Rasul”. Hingga kemudian nuzul QS.Al-Fath.48/l-7: “Terjadinya kemenangan Islam dengan Futuh Makkah” dan kemudian nuzul QS. Al-Bara’ah/At-Taubah, di akhiri dengan nuzul QS.AI-Maidah.5/3: “AI-Yauma akmaltu lakum dinakum wa Atmamtu ‘alaikum ni’matii wa Radhitu lakumul Islama dina”. Suprimasi Islam terwujud di tingkat domistik Jazirah Arab. Dan kemudian uThabaqan ‘an Thabaq” Islam secara hegemonik kekuasaannya mendunia “Khilafah Fil-Ardhi”. Perhatikan “sunnatullah” QS.40/4-6; QS.28/I-6; QS.l3/42-43; QS.l4/8-I5; QS.6/ll1-114,121,123; QS.43/28-31; QS.25/30-31; QS.35/42-43; QS.2/217-218. Wa’alal-Jumlah: bahwa karakteristik mukmin mesti mampu mengidentifikasi musuh Allah dan Rasul-Nya yang disebut; Likulli Nabiyyin ‘Aduwwan Syayatiinal-lnsi wal-Jinni.
Lanjutkan Membaca ...

Mengapa Manusia Tak Bisa Minum Air Laut?

Selain air laut terasa tak enak, meminum air laut dapat menyebabkan dehidrasi.

Jika Anda meneguk air laut, Anda akan kencing lebih banyak dari apa yang Anda minum. Hal ini terjadi guna menyingkirkan garam ekstra dalam tubuh. Selain itu, meminum air laut dapat membuat tubuh menjadi lebih haus dari sebelumnya.

Kadar asin air laut dapat dihilangkan, namun teknik ini sangat membutuhkan energi besar. Seperti dikutip lifeslittlemysteries, beberapa hewan berevolusi agar bisa menyiasati masalah garam ekstra dalam air laut.

Contohnya, elang laut memiliki kelenjar garam khusus di belakang rongga mata yang menyaring garam dari air saat burung meneguknya. Kemudian, garam itu akan dikeluarkan dalam larutan garam yang mengalir keluar melalui ujung paruhnya. [mor]

Lanjutkan Membaca ...

11 Jan 2012

Fungsi dan Makna Al Fatihah yang berlaku Sepanjang ZAMAN

Al Fatihah adalah Ummul Kitab ( أمّ الكتاب) atau Induk Kitab memberikan gambaran singkat tentang fungsi, makna dan tujuan Al Quran. Surat Al-Fatihah adalah surat pertama yang diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah lain dalam Al-Qur'an. Karena Al Fatihah merupakan induk dari semua isi Al-Quran, ia Dinamakan pula As Sab'ul matsaany (السبع المثاني) (tujuh yang berulang-ulang). Surat Al Fatihah juga merupakan Surat yang di wajibkan dibaca pada setiap rakaat Shalat para Muslimin. Berikut ini adalah uraian makna yang terkandung dalam surat Al Fatihah tersebut.


1. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan IDEOLOGI yang ALLAH ajarkan (2:31) yaitu AL-QURAN (55:1-4) untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya (57:9, 33:43), AKU (pembaca) menjalani hidup.

‎2. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Hamida - Yahmadu - Hamdan = Pujian, sikap merendahkan diri kepada MAHMUD.
Pujian HANYA hak Allah, mengapa ALLAH berhak dipuji? karena ALLAH memiliki NAMA BAIK (prestise), 7:180.
Mengapa ALLAH memiliki Prestise? karena ALLAH memiliki PRESTASI, 29:44.
Apa prestasi ALLAH? ROBB-ul-'ALAMIN, 1:2.
Apa itu ROBB? Pencipta, pemelihara, pendidik, pengatur, dst... 7:54.
Segala sesuatu yang ada di alam ini tunduk patuh kepada SUNNAH ALLAH, 3:83.
Bagaimana konkretnya ALLAH sebagai ROBB? wujud nyata ALLAH sebagai ROBB adalah adanya RUBUBIYYAH (aturan) ALLAH, 6:57.

3. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Masyarakat JAHILIYYAH mengakui ALLAH sebagai ROBB, 10:31.
Namun mereka tak mengakui ALLAH sebagai RAHMAN-RAHIM. 36:15.
Penggunaan kata AR-RAHMAN adalah menunjukkan bahwa RUBUBIYYAH ALLAH yang harus dipegang teguh dan dijadikan rujukan dalam setiap perkara hidup adalah AL-QURAN, 55:1-4.
Penggunaan kata AR-RAHIM adalah menunjukan bahwa untuk mentegakkan RUBUBIYYAH ALLAH tersebut diutuslah seorang RASUL demi mengeluarkan manusia dari KEGELAPAN menuju CAHAYA, 57:9 dan 9:127-128.

‎4. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

ALLAH adalah MALIK, pemilik kerajaan LANGIT dan BUMI. 25:2.
Wujud nyata ALLAH sebagai pemilik kerajaan langit adalah adanya MALAIKAT (aparat/petugas kerajaan) ALLAH. 69:17.
Wujud nyata ALLAH sebagai pemilik kerajaan bumi adalah dengan diutusnya seorang RASUL yang juga berfungsi sebagai KHALIFAH (duta/perwakilan) kerajaan ALLAH. 2:30.
RASUL berjuang mentegakkan MULKIYYAH ALLAH agar RUBUBIYYAH ALLAH dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan totalitas. 42:13.
Pengakuan manusia bahwa ALLAH adalah rajanya haruslah dibuktikan dengan mentegakkan DIIN, karena ALLAH adalah MALIKI YAUMIDDIN, 5:68.

5. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Inilah hasil daripada proses pentegakkan DIIN ALLAH, yaitu MASYARAKAT TAUHID yang selaras antara HABLUN-MIN-ALLAH ( نَعْبُدُ ) dan HABLUN-MIN-ANNAAS ( نَسْتَعِينُ ), semuanya itu dilakukan berdasarkan TAUHID, 4:1.

========
Dari ayat 1-5 AL-FATIHAH, ALLAH mengajarkan konsep dasar kehidupan yang HAQ, yaitu JALAN HIDUP yang akan mambawa MANUSIA kepada RAHMAT.
RUBUBIYYAH = KONSEP HUKUM dan UNDANG-UNDANG.
MULKIYYAH = SISTEM PEMERINTAHAN sebagai tempat untuk diberlakukannya HUKUM dan UU tersebut. tanpa tegaknya MULKIYYAH maka KONSEP HUKUM sebagus apapun hanya akan tinggal di etalase museum.
ULUHIYYAH = buah daripada terlaksananya HUKUM dengan kedaulatan penuh PEMERINTAHAN ISLAM, maka akan mewujudkan sebuah MASYARAKAT TAUHID yang menjadikan ALLAH sebagai satu-satunya ILAAH, dalam segala sendi kehidupannya baik yang menyangkut HABLUN-MIN-ALLAH (IBADAH) dan HABLUN-MIN-ANNAAS (MUAMALAH) semuanya terlaksana sesuai dengan ISLAM, terciptalah DUNIA yang penuh dengan RAHMAT.
======

6. اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Mustaqim adalah isim fa'il (subjek) dari kata istiqomah, istiqomah artinya teguh pendirian, jadi berdasar kaidah tata bahasa mustaqim artinya adalah "orang-orang yang teguh pendirian"

"tunjukilah kami jalannya orang-orang yang teguh pendirian"
Itulah terjemahan asli berdasar kaidah tata bahasa, kemudian kita lihat konteks ayat dan mencari penjelasan dari ayat tersebut dengan ayat lainnya.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

"Yaitu jalannya orang2 yang telah Kau anugerahi NI'MAT atas mereka"

Siapa itu orang2 yang telah di anugerahi NI'MAT oleh Allah?

Jawabannya ada di 4:69,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:

1. Nabi-nabi,
2. para shiddiiqiin,
3. para syuhada
4. dan orang-orang saleh.

Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Jadi, shirothol mustaqim adalah Jalan yang ditempuh oleh orang2 yang teguh pendirian, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, para sholihin.

Jelaslah bahwa ayat 6 ini menjabarkan secara garis besar tentang bagaimana caranya mentegakkan KONSEP TAUHID yang dijelaskan sebelumnya

Selanjutnya, sikap manusia terhadap hal ini akan terbagi menjadi 3 golongan besar yang dijelaskan dalam ayat 7.

‎7.1. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Skenario pertama adalah akan ada dalam kehidupan sekelompok manusia yang berada pada Jalan Allah yang Lurus. Mereka itu adalah Orang2 yang menerima nikmat (ajaran) dari Allah dan mentaatinya dengan penuh istiqomah. Mereka itulah para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, Sholihin.

AL-NISAA' : 69,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

AL-AHZAAB : 38-39,

مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا 38 الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.

7.2. غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

Skenario kedua adalah akan ada dalam kehidupan sekelompok manusia yang telah menerima nikmat (ajaran Allah) tapi mendustakannya. Ia beriman kepada sebagian ajaran yang menguntungkan hawa nafsunya tapi ia mendustakan ajaran yang merugikan hawa nafsunya. Inilah yang disebut sebagai orang-orang munafik. Mereka memahami Al-Quran tapi menghalangi dari ditegakkannya Al-Quran tersebut.

AL-SHAAFF : 2-3,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ 2 كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Orang munafik inilah yang dikatakan dalam 4:150 sebagai kafir yang sebenar-benarnya. Dengan kemunafikannya ia senantiasa menyekutukan Allah dengan cara mencampur-adukan antara yang haq dengan yang bathil.

AL-NISAA' : 150-151,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا 150 أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.

FATHIIR : 42 - 43,

وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَهُمْ نَذِيرٌ لَيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الأمَمِ فَلَمَّا جَاءَهُمْ نَذِيرٌ مَا زَادَهُمْ إِلا نُفُورًا 42 اسْتِكْبَارًا فِي الأرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا سُنَّةَ الأوَّلِينَ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلا

Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran), karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.

7.3. وَلا الضَّالِّينَ

Skenario ketiga adalah akan ada dalam kehidupan sekelompok manusia yang menolak untuk beriman kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang sesat karena tak mau berpetunjuk dengan AL-Quran. Dengan penolakannya itu maka akan sama saja bagi mereka apakah diperingatkan atau tidak mereka tetap akan menolak.

AL-NISAA' : 136,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

AL-MU'MIN : 82-85,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَشَدَّ قُوَّةً وَآثَارًا فِي الأرْضِ فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ 82 فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ 83 فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ 84 فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ

Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: "Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.

Demikian penjabaran makna surat al-Fatihah, semoga bermanfaat.
Lanjutkan Membaca ...

Pesan dan Amanat Terakhir Rasulullah SAW pada Khutbah Haji WADA

Haji WADA memiliki arti penting bagi MUSLIMIN, didalamnya ada Pesan dan Amanat KHUTBAH yang amat penting selama pelaksanaan ibadah Haji yang terakhir bari Rasulullah. Rasulullah Nabi Muhammad SAW, berda'wah selama dua puluh tiga tahun, dimulai pada saat paling sulit dan sukses mendirikan MADINAH dan merebut kembali kota suci Mekah dari tangan para penguasa KAFIR QURAISY. Rasulullah (SAW) melaksanakan ibadah haji yang terakhir pada tahun ke 10 Hijriyah dengan diikuti oleh 124,000 (seratus dua puluh empat ribu) Mukmin. Beliau (SAW) menyampaikan khutbah bersejarah di padang Arafah pada hari ke-9 bulan Dzulhijah, sambil berdiri di Jabal Rahmah, menjelang waktu shalat Dzuhur. Bilal (RA) dan Rabiah bin Khalaf mengulangi kalimat-kalimat Rasulullah (SAW) untuk para jamaah yang berada jauh dari tempat berdiri Rasulullah (SAW).

Beliau (SAW) berwasiat, "Perhatikanlah dengan seksama yang aku sampaikan kepadamu, sebab mungkin saja hari ini adalah kali terakhir pertemuanku dengan kalian semua di tempat ini. Jika kalian semua takut kepada Allah (SWT) dan mentaati Allah (SWT), Dia akan memelihara keselamatan hidupmu, harta-bendamu, dan kehormatanmu sampai tiba saatnya Dia memanggilmu kembali kepada-Nya."

Sampai disini, Nabi (SAW) bertanya kepada para jamaah, “Sudahkah aku tunaikan tugasku sebagai pembawa risalah kepada kalian? Wahai Allah, sudahkah aku tunaikan tugas yang telah Engkau amanatkan kepadaku?” Semua yang hadir serentak menjawab, “Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menunaikan tugas risalahmu kepada kami.”

Rasulullah (SAW) melanjutkan, "Lakukan apa yang aku wasiatkan kepada kalian. Aku minta kalian mengembalikan harta orang-orang yang dititipkan kepadamu dalam bentuk aslinya dan janganlah kalian secara sengaja mengkhianati amanat yang diserahkan kepada kalian. Janganlah kalian memberlakukan riba. Islam mengharamkan pungutan riba (bunga) yang dikenakan atas beda waktu pembayaran. Namun tidak mengapa bagi kalian untuk menerima pengembalian nilai pokoknya.

Hanyalah riba yang diharamkan oleh Allah (SWT). Maka dari itu, aku tegaskan disini bahwa riba yang seharusnya diterima oleh pamanku Abbas (RA) ditiadakan dan menjadi kosong nilainya.”
“Camkanlah! Bahwa jika seseorang membunuh orang lain, maka si pembunuh haruslah diganjar hukuman mati. Namun, bila pembunuhan itu terjadi tanpa kesengajaan (berniat untuk) membunuh maka si pembunuh wajib membayar denda sejumlah seratus ekor onta.

Beliau (SAW) melanjutkan, "Setan menjadi sangat berang mengetahui bahwa tak seorangpun yang tersisa lagi di tanah kalian, yang bersedia mendengar bisikannya, apalagi bersedia mengikuti ajakannya. Namun janganlah kalian lupa, setan akan selalu membuntuti kalian sepanjang waktu. Setan akan selalu berusaha membelokkan jalanmu menuju arah yang melalaikan. Setan tahu persis bahwa dirinya tak dapat mengacaukan urusan-urusan agama kalian. Sungguhpun demikian, setan akan berusaha mengacaukan kalian melalui urusan kalian di bidang lain, dalam wujud bid’ah (hal-hal baru). Maka kalian sendirilah yang harus selalu waspada untuk melindungi diri kalian sendiri dari setan. Bahkan kalian harus tetap waspada dalam urusan sekecil apapun, agar setan tak berpeluang melibatkan dirinya didalam urusanmu yang sepele, dalam rangka menghancurkan pijakan kalian dalam beragama."

"Dengarlah, jangan berusaha memasukkan bulan biasa kedalam bulan suci. Hal itu tergolong bid’ah. Bulan-bulan Islam adalah sebagaimana yang telah Allah (SWT) sebutkan didalam Al-Quran. Ada dua-belas bulan didalam satu tahun, empat diantaranya adalah bulan-bulan suci, yakni bulan Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijah dan Muharram."

"Sekarang, aku hendak menasehati kamu semua perihal perempuan (istri-istri)-mu. Mereka mempunyai hak atas diri kalian dan kalian pun memiliki hak atas mereka. Menjadi tugas kalianlah untuk melindungi kehormatan kalian dan tidak mengijinkan masuk ke dalam rumahmu orang-orang yang tak kamu sukai. Bilamana istri-istrimu tidak seksama dalam memenuhi kewajiban mereka terhadapmu, diperbolehkan bagimu memukulnya secara perlahan, bukan pukulan keras yang menyakitinya. Dan bila mereka telah memenuhi kewajibannya terhadap kalian secara patut, kalian wajib mencukupi mereka dengan makanan yang baik dan pakaian yang pantas. Aku nasehatkan kepada kalian, berlakulah lemah-lembut terhadap istri-istri kalian dan berbaik-hatilah serta penuh kasih-sayang terhadap mereka. Mereka adalah amanat Allah (SWT) kepada dirimu dan kamu diijinkan menikahi mereka sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah (SWT). Sekali lagi aku tegaskan, berhati-hatilah terhadap Allah (SWT) dan berlaku lembutlah terhadap istri-istri kalian. "

Sampai disini, Nabi (SAW) bertanya,” Sudahkah aku tunaikan tugasku sebagai pembawa risalah kepada kalian? Wahai Allah, sudahkah aku tunaikan tugas yang telah Engkau amanatkan kepadaku?” Semua yang hadir pun serentak menjawab, “Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menunaikan tugas risalahmu kepada kami.”

Beliau pun melanjutkan, "Simaklah baik-baik. Setiap Mukmin bersaudara sutu dengan yang lain didalam Islam. Berlakulah saling menghormati dan melindungi harta sesama kalian. Seorang mukmin diharamkan mengambil harta yang lain tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya. Perhatikanlah, janganlah kalian saling bunuh-membunuh sepeninggalku. Berpegang-teguhlah kalian semua pada tali Ukhuwah Islamiyah. Aku harus meninggalkan dunia ini, dan aku tinggalkan kepada kalian Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku sebagai pedoman bagi kalian. Dengan berpegang pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat.

"Dengarlah, Tuhan kalian adalah satu dan leluhur kalian pun satu. Kalian semua adalah anak-cucu Adam (AS). Sedangkan Adam (AS) telah diciptakan-Nya dari tanah. Maka, kalian semua pun juga sama-sama berasal dari tanah, maka tak seorang pun dari kalian lebih unggul/utama dari pada yang lain. Sesungguhnya, yang lebih utama diantara kalian dalam pandangan Allah (SWT) adalah yang paling taqwa kepada-Nya. Dengan demikian tak seorang Arab pun yang boleh mengaku bahwa dirinya lebih utama daripada yang bukan orang Arab. Keutamaan seseorang diukur dari ketaatannya dan besarnya rasa takutnya kepada Tuhan."

Sampai disini Rasulullah (SAW) kembali mengulang pertanyaan yang sama, apakah beliau telah menyampaikan risalah kepada mereka, dan para jamaah pun serempak memberikan jawaban yang sama pula, bahwa beliau (SAW) telah menyampaikan semuanya kepada mereka.

Selanjutnya, Nabi (SAW) menambahkan, "Aku minta kepada kalian yang hari ini menyimak pesan-pesanku agar menyampaikan pesan-pesan ini kepada mereka yang pada hari ini tidak hadir disini, dengan demikian maka pesan-pesanku ini akan sampai kepada seluruh Ummat Muslim.” “Wahai saudara-saudaraku dalam Islam yang kucintai, Allah (SWT) telah menetapkan bagian warisan yang berhak diterima oleh setiap ahli waris. Maka, janganlah kalian membuat wasiat untuk bagian orang lain yang lebih besar dari bagian yang diterima oleh para ahli waris, yang mana Allah (SWT) telah menetapkan besarannya. Jika kamu ingin mewasiatkan harta kepada seorang asing, yang bisa saja tak memiliki hubungan kekerabatan dengan mu, janganlah bagian untuknya melebihi dari sepertiga dari nilai harta (warisan)-mu."

Rasulullah (SAW) menutup khutbah beliau dengan Assalaamu’alaikum (semoga Allah (SWT) melimpahkan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan atas diri kamu sekalian). Sesudah Rasulullah (SAW) menutup khutbah beliau, Allah (SWT) pun menurunkan wahyu-Nya. Wahyu itu adalah ayat ke-3 dari Surah Al-Ma'idah,

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Ibnu Umar (RA) meriwayatkan bahwa, manakala Umar bin Khattab (RA) mendengarkan ayat ini, ia langsung bercucuran air-mata. Hadirin yang lainpun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis? Umar (RA) menjawab, "Setelah puncak dilalui, niscaya lembah akan didapati." (Bukhari)

Kaum Yahudi berkata kepada Umar (RA) , "Andaikan Al-Ma'idah ayat-3 telah diturunkan kepada Yahudi, niscaya pada hari itu Yahudi pasti telah merayakan sebuah Hari Raya." Maka, berkata Umar (RA) kepada mereka,"Aku mengetahui bahwa ayat itu diwahyukan kepada Muhammad (SAW) pada hari Arafah di Padang Arafah, yang juga bertepatan dengan hari Jum’at.

Dengan demikian, pada hari itu Ummat Muslim telah merayakan dua Hari Raya.(Bukhari dan Muslim)
Lanjutkan Membaca ...

10 Jan 2012

Sejarah Imam Ali | Posisi Dilematis Beliau saat pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan RA


Peranan Imam Ali RA semasa pemerintahan Khalifah Utsman RA secara sistematis dihilangkan melalui konspirasi yang dilakukan oleh Bani Umayyah, yang berhasil masuk dan berperan di sisi khalifah. Imam Ali RA yang semasa kedua Khalifah sebelumnya berperan sebagai "Ahlu Syuro" , pada pemerintahan Khalifah Utsman RA, praktis terpinggirkan dan tidak berperan, sehingga hal ini membuat "konspirasi" bani Umayyah semakin mengendalikan kekuasaan khalifah. Khalifah Utsman bin Affan RA tidak berdaya menanggulangi konspirasi para "SRIGALA" sebagaimana telah di peringatkan oleh Amirul Mu'minin Umar bin Khattab RA. Begitu pula dengan Abu Dzar Al Ghifari yang pada masa pemerintahan kedua khalifah sebelumnya selalu mengawal, tegas, dan taat dalam mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin dari penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Abu Dzar Al Ghifari akhirnya terbuang dari lingkungan kekuasaan khalifah. Keberadaan Para sahabat Rasulullah SAW yang lain yang pada masa pemerintahan kedua khalifah sebelumnya yang selalu menjadi "AHLU SYURO", seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, posisi mereka hampir sama dengan posisi Imam Ali r.a. Nasehat-nasehat mereka sudah tidak mempan bagi Khalifah. Padahal tuntutan kaum muslimin yang berontak benar-benar adil dan masuk akal.


Rangkain konflik semakin tajam dan dalam dan mengakhiri kisah hidup sang khalifah pada suatu peristiwa pembunuhan terhadap beliau yang terjadi pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, yaitu saat Khalifah Utsman genap berusia 82 tahun. Pembunuhan ini adalah puncak dari pengepungan terhadap kediaman khalifah demi menuntut agar Khalifah Utsman RA menyerahkan Marwan kepada mereka atau menyingkirkan Marwan dari kekuasaan. Tetapi Khalifah bertahan. Banyak yang memberi nasehat kepada Khalifah supaya Marwan dikeluarkan saja dari pemerintahan. Pengepungan ini menempatkan Imam Ali pada posisi dilematis antara ketaatan kepada khalifah dan mendukung tuntutan muslimin dari Mesir ini. Demi menyelamatkan khalifah dari ancaman pembunuhan, Imam Ali mengirim kedua putranya Hasan bin Ali RA dan Husein bin Ali RA untuk melindungi khalifah dari pembunuhan pengepung yang sudah sekian lama memblokir kediaman khalifah akhirnya gagal dan peristiwa pembunuhan itu pun terjadi.

Demikian sekilas isi BAB VIII dari Buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib RA Karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini yang dimuat dalam web Sahabat-nabi.blogspot.com. Berikut , silahkan Simak Keseluruhan isi dari BAB VIII buku tersebut dibawah ini.

Bab VIII : Khalifah Utsman Bin Affan RA


Setelah jenazah Umar bin Khattab RA dimakamkan, Abu Thalhah Al Anshariy segera mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yang ditunjuk Umar RA, di sebuah rumah. Sesuai dengan wasiyat Khalifah Umar RA maka 50 orang Anshar lengkap dengan pedangnya masing-masing, ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding untuk memilih siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar bin Khattab RA

Pelaksanaan Pemilihan


Tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar RA terdapat beberapa riwayat. Menurut Abu Utsman Al-Jahidz, pelaksanaannya sebagai berikut: Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan berdebat. Thalhah bin Ubaidillah tampil sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai calon Khalifah. Alasan yang diajukannya untuk bersikap demikian, karena ia yakin tidak akan ada seorang pun yang akan mencalonkan dirinya (Thalhah) sebagai Khalifah, selama Imam Ali RA dan Utsman bin Affan RA masih ada.

Kemudian tampil Zubair bin Al 'Awwam. Ia menentang pencalonan Utsman bin Affan RA, seperti yang diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Imam Ali RA Orang memperkirakan bahwa Zubair mencalonkan Imam Ali RA karena hubungan kekeluargaan.

Seperti diketahui Zubair adalah anak lelaki bibi Imam Ali Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, dan ayah Imam Ali RA sendiri adalah saudara ibu Zubair. Setelah ini muncul usul ketiga, yang datangnya dari Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia mengajukan misanannya sendiri, anak pamannya, yaitu Abdurrahman bin 'Auf sebagai Khalifah. Usul Sa'ad ini pun masih berbau fikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah. Selain itu Sa'ad sendiri pun sudah merasa kecil kemungkinannya untuk terpilih sebagai Khalifah.

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Sekarang tinggal 3 orang yang belum mengajukan usul pencalonan. Abdurrahman kemudian bertanya kepada Imam Ali RA dan Utsman bin Affan RA: "Siapa di antara kalian berdua yang bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab, masalah pemilihan sekarang ini hanya bergantung kepada kalian berdua."

Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yang menanggapi pertanyaan Abdurahman bin Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Imam Ali RA dan Utsman bin Affan RA Abdurrahman bin Auf berkata lagi: "Sekarang aku menyatakan menarik diri dari pencalonan." Seterusnya ditambahkan: "Dengan demikian aku dapat memilih salah seorang di antara kalian berdua."

Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi, baik oleh kedua orang calon, maupun orang lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa untuk melancarkan jalannya pemilihan. Kepada Imam Ali RA ia bertanya: "Bagaimana kalau aku membai'at anda untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah yang lalu?"

Menghadapi pertanyaan yang agak mendadak itu, dengan cepat Imam Ali RA menjawab: "Tidak! Aku menerima (pembai'atan itu) jika didasarkan kepada Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan ijtihadku sendiri."

Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Imam Ali RA, Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yang sama kepada Utsman bin Affan RA Dengan singkat dan tegas Utsman bin Affan RA menjawab: "ya!"

Mendengar jawaban Utsman bin Affan RA itu, Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan pertanyaan yang sama kepada Imam Ali RA Imam Ali RA tetap pada jawaban semula. Akhirnya Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan RA kemudian memegang tangannya. Ini sebagai tanda pembai'atan yang diberikannya kepada Utsman bin Affan RA Prakarsa Abdurrahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai'atan Khalifah baru, untuk menggantikan Khalifah Umar RA yang telah wafat.

Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini, ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah Utsman RA Di dalam versi lain itu dikatakan, bahwa setelah beberapa hari melakukan penjajagan, akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf, meminta kepada kaum muslimin supaya berkumpul di masjid Rasulullah s.a.w. Dengan menggunakan sorban yang dahulu pernah dipakai oleh Rasulullah s.a.w., dan dengan berdiri di atas mimbar pada jenjang tempat Rasulullah s.a.w. dulu selalu berdiri, Abdurrahman bin Auf mengucapkan do'a dengan suara lirih.

Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menimbulkan keheranan di kalangan hadirin. Sebab, baik Khalifah Abu Bakar RA maupun Khalifah Umar RA sendiri, belum pernah berbuat demikian.

Sambil memandang ke tempat Imam Ali RA duduk, Abdurrahman berseru dengan gaya penuh wibawa: "Hai Ali, majulah engkau!"

Imam Ali RA segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Imam Ali RA mengetahui benar apa yang menjadi maksud sahabatnya itu, tiba-tiba Abdurrahman memegang tangannya sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras. Isi kata-katanya sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses seterusnya.

Hanya dalam versi ini ditambahkan, bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan Utsman bin Affan RA yang sudah berusia lanjut itu dengan berkata : "Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!"

Imam Ali RA, para sababat Rasulullah s.a.w. lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Usman bin Affan RA yang sudah berusia lanjut itu sebagai pemimpin tertinggi mereka yang baru.

Pembai'atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro, merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar RA dibai'at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar bin Khattab RA ditetapkan berdasarkan wasiyat Kahlifah Abu Bakar RA

Akan tetapi sejalan dengan pembai'atan Utsman bin Affan RA sebagai Khalifah, banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Imam Ali RA kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan "Tidak?"

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pasti. Imam Ali RA sendiri tidak pernah mengemukakan secara terbuka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti, Imam Ali RA tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan RA sebagai Amirul Mukminin.

Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan "Tidak!" itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, melainkan tertuju kepada keharusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar RA dan Khalifah Umar RA

Imam Ali RA tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar RA dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasulullah s.a.w. yang dicabut oleh Khalifah Abu Bakar RA sepeninggal beliau dan dijadikan hak milik kaum muslimin (Baitul Mal). Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar RA yang mengadakan penggolongan-penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal kepada kaum muslimin.


Terbuka Kesempatan


Peristiwa yang berlangsung secara wajar menurut norma kaum muslimin pada masa itu, ternyata ditanggapi secara lain oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah. Peristiwa terbai'atnya Utsman bin Affan RA sebagai Khalifah, diartikan oleh mereka, sebagai awal kemenangan Bani Umayyah atas orang-orang Bani Hasyim.

Padahal Rasulullah s.a.w. sendiri tidak pernah memandang ummatnya dari kaum apa atau dari keturunan mana. Semua kaum muslimin adalah saudara. Prinsip yang mulia itu nampaknya tidak mudah direalisasi, karena adat istiadat dan tradisi kuat yang berabad-abad bercokol di kalangan orang-orang Arab.

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Waktu Utsman bin Affan RA terpilih sebagai Khalifah, penyakit sukuisme dan keqabilahan muncul kembali dan malah dibesar-besarkan oleh orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali RA dan orang-orang dari Bani Hasyim lainnya, mereka nilai sebagai mengalami kekalahan dalam persaingan melawan Utsman bin Affan RA; yang berasal dari Bani Umayyah.

Padahal Utsman bin Affan RA sendiri pada saat terbai'at sebagai Khalifah, sama sekali tidak menyimpan fikiran seperti yang diteriakkan oleh kaum kerabatnya. Utsman bin Affan RA seorang sahabat terdekat Rasulullah s.a.w., bahkan sampai dua kali ia menjadi menantu Nabi. Pertama kali ia nikah dengan Roqayah binti Muhammad Rasulullah s.a.w. Kemudian setelah Roqayah RA meninggal, ia nikah lagi dengan Ummu Kaltsum binti Muhammad Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu Utsman bin Affan RA terkenal dengan sebutan "Dzun Nurain" (pemilik dua cahaya). Ia memeluk Islam di tangan Abu Bakar RA dan setelah menjadi orang beriman, ia sangat besar taqwanya kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah dan perjuangan Rasul-Nya, Utsman bin Affan RA tidak pernah menghitung-hitung untung rugi. Hampir semua kekayaannya, harta benda dan jiwanya diserahkan untuk kepentingan menegakkan agama Allah. Ia terkenal pula dengan amal perbuatannya, yang dengan uang dari kantong sendiri membeli sumber air jernih "Bir Romah" untuk kepentingan semua kaum muslimin.

Utsman bin Affan RA jugalah yang dengan uangnya sendiri membayar harga tanah sekitar masjid Rasulullah SAW, ketika masjid itu sudah terlampau sempit untuk menampung jemaah yang bertambah membeludak. Pada waktu kaum muslimin menghadapi paceklik hebat, pada saat mana Rasulullah SAW telah mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan guna menghantam perlawanan Romawi, Utsman bin Affan RA lah yang mengeluarkan uang dari koceknya untuk membeli senjata dan perlengkapan perang lainnya. Ia memang seorang hartawan dan hartanya dihabiskan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.

Pada saat menerima tugas dan tanggung jawab sebagai Khalifah, Utsman bin Affan sudah lanjut usia. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah yang ada di sekelilingnya. Dalam hal ini yang paling menonjol peranannya ialah Marwan bin Al Hakam, misanannya, yang menjadi pembantu utama paling dipercaya. Demikian juga Muawiyyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur atau Kepala Daerah Syam, daerah yang sangat makmur dan subur di sebelah utara jazirah Arab. Kedua tokoh Bani Umayyah itu mempergunakan peluang secara maksimal ketika usia Khalifah Utsman RA makin lanjut dan tidak lagi aktif sepenuhnya mengatur kehidupan negara, pemerintahan dan ummat. Secara pandai orang-orang itu merebut hati Khalifah, menanamkan pengaruh dan memperkuat posisi mereka di bidang kekuasaan.

Gejala individualisme, mementingkan diri sendiri dan golongan, yang pada masa Khalifah Umar RA berhasil dipangkas tunas-tunasnya, ternyata tumbuh kembali dengan suburnya, terutama pada masa-masa terakhir Khalifah Utsman RA Sistem pemerintahan yang sangat demokratis yang telah dirintis oleh Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar RA dan Khalifah Umar RA setapak demi setapak digantikan dengan sistem oligarki (pemerintahan keluarga) oleh para pembantu Khalifah Utsman RA Harta Baitul Mal yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan ummat Islam, mulai banyak disalahgunakan. Muncullah penguasa-penguasa hartawan yang mempunyai ratusan ekor unta, kuda dan hamba sahaya, serta rumah-rumah indah di Bashrah, Kufah dan Iskandariyah.

Melihat perkembangan ummat meluncur ke bawah ini, Imam Ali RA tidak dapat berdiam diri. Sebagai sahabat baik, dengan tulus ikhlas, diminta atau tidak diminta, ia menyampaikan saransaran, nasehat-nasehat serta gagasan-gagasan kepada Khalifah Utsman RA Tentu saja sikap dan tindakan yang diambil Imam Ali RA menimbulkan rasa tidak senang, bahkan sikap permusuhan, dari mereka-mereka yang sedang menikmati hasil perjuangan ummat Islam untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan para penguasa pemerintahan Khalifah, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam, khususnya di kalangan qabilahqabilah tertentu yang hidup merana.

Khalifah Utsman RA sendiri dalam batas kemampuan yang ada pada dirinya, telah berusaha untuk mengatasi keadaan yang semakin kritis itu, karena ia menyadari bahayanya bilamana dibiarkan begitu saja. Akan tetapi karena usianya yang telah lanjut ia tidak berdaya menghadapi "permainan" Marwan bin Al-Hakam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Utsman praktis sudah tidak dapat lagi mengendalikan aparaturnya.

Di Korbankan


Apa yang di ramalkan oleh Khalifah Umar RA pada saat menjelang ajalnya, ternyata memang benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan RA mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di tempatkan pada kedudukan-kedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai Kepala Daerah atau Gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.

Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman RA, ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman RA kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu.

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman RA yang dikendalikan oleh Marwan dan kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman RA juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah SAW dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah SAW mengenai pengusiran Al-Hakam.

Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman RA atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah SAW telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.

Begitu pula daerah Fadak, yang dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah SAW; oleh Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah SAW

Dalam sejarah Islam, daerah Fadak ini menjadi sangat terkenal, karena tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh Sitti Fatimah RA kepada Khalifah Abu Bakar RA, untuk memperoleh hak atas tanah yang dahulu berada di bawah kekuasaan ayahandanya.

Khalifah Utsman RA juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.

Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Abdullah adalah saudara sesusuan dengan Khalifah. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.

Kepada Abu Sufyan bin Harb, yang dahulu terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah SAW, dan baru terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman RA diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman RA membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.

Sebenarnya semua kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah Utsman RA merupakan pelaksanaan imla (dikte) yang disodorkan para pembantu yang diberi kepercayaan penuh. Khalifah Utsman RA menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke marabahaya yang sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya.

Seorang Khalifah yang kurang lebih berusia 80 tahun itu, oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan untuk kepentingan pribadi-pribadi, golongan dan qabilah. Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas, sudah tentu menimbulkan kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman RA mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam, menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.

Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?"

"Tidak", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. "Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah
SAW masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak."

"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah dengan wajah merah padam.

"Kami bias mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."

Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.

Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman RA Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad.

Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.


Abu Dzar Dibuang

Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman RA, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.

Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.

Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da'wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai "cahaya terang benderang."

Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.

Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan
ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.

Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"

Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!" Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.

Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar RA gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab RA, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan RA, penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan RA sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman RA sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.

Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.

Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.

Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang Pedih. Pada hari kiamat Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.

Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"

Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.

Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: "Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," "Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya...." dan lain sebagainya.

Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.

Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!"

Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.

Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah di sampingku!" , Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"

Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a., sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.

Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman r.a. mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.

Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."

Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.

Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.

Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas: Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.

Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"

Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."

Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.

Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.

Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"

Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati.

Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu.

Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu."

Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"

Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"

Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…"

Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan dan meremehkan perintahku?"

"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali r.a. dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."

"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.

"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?" tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.

"Mengapa?" tanya Imam Ali r.a.

"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah.

"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a., "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"

"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman r.a. dengan mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!"

"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.

Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.

Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a., para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."

"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"

"Tidak," jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."

Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman RA, Imam Ali RA datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Imam Ali RA berkata: "Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."

Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali RA tersebut, Khalifah Utsman RA berkata dengan nada lemah lembut: "Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu....!"

Imam Ali RA segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman RA dan dilekatkan pada dadanya.

Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bias turut menangis sedih!

Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut: Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.

Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''

Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"

"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"

"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. "Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasulullah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"

Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"

"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"

"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.

"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.

Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasulullah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.

"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.

Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!"

Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: "Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."

Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerihpayahku.

Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…"

"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!" Sahut Abu Dzar.

Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah SWT Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.

Selesai di makamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah!"

Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'. Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: "Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."


Krisis politik dan pemberontakan


Krisis politik yang menggoncangkan pemerintahan Khalifah Utsman RA di Madinah prosesnya di mulai dari Mesir. Dalam bukunya 'Aisyah was Siyasah, halaman 48, Said Al-Afghani, sejarawan Islam terkemuka, menuturkan proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman RA sebagai berikut: Abdullah bin Abi Sarah, yang dalam periode kekhalifahan Utsman RA menjadi Gubernur atau Kepala Daerah Mesir dengan kekuasaan penuh, banyak rnelakukan tindakan yang menimbulkan rasa tidak puas dan jengkel di kalangan penduduk. Keluhan penduduk Mesir itu mendapat tanggapan baik dari Khalifah Utsman RA Tetapi Khalifah sendiri tidak dapat bertindak tegas.

Bahkan orang-orang Mesir yang mengadu kepada Khalifah, sekembalinya dari Madinah dibunuh oleh Abdullah bin Abi Sarah.

Peristiwa semacam itu mengugah kemarahan rakyat yang semakin memuncak. Hampir 700 orang bersenjata meninggalkan Mesir. Mereka menuju Madinah untuk menghadap Khalifah.

Khalifah didesak supaya bertindak terhadap Abdullah bin Abi Sarah dan memecatnya dari kedudukan sebagai Kepala Daerah.

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Semua sahabat Rasul Allah s.a.w., termasuk Imam Ali r.a. dan Sitti 'Aisyah r.a. turut mendesak Khalifah Utsman r.a. agar memenuhi tuntutan rakyat Mesir. Bagaimana pun juga alasannya tindakan Abdullah bin Abi Sarah itu bertentangan dengan hukum Islam dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Khalifah. Khalifah Utsman. r.a. menyatakan persetujuannya dan akan bertindak memecat Abdullah bin Abi Sarah.

Sejalan dengan pengangkatan Kepala Daerah baru (yang berangkat langsung dari Madinah ke Mesir), berangkat juga kurir khusus membawa surat rahasia untuk diserahkan kepada Abdullah bin Abi Sarah. Dalam surat rahasia itu terdapat tanda-tangan Khalifah Utsman r.a. Isinya memerintahkan Abdullah bin Abi Sarah supaya segera membunuh Kepala Daerah baru setibanya di Mesir. Kepala Daerah baru itu ialah Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

Celakanya, kurir yang membawa surat rahasia itu dipergoki di tengah jalan oleh iring-iringan Kepala Daerah yang baru diangkat dan yang akan melakukan timbang terima jabatan dari Kepala Daerah yang lama. Terbongkarlah permainan politik yang sangat curang dan kotor itu.

Kemarahan rakyat Mesir tambah meningkat dan mendidih. Penduduk Mesir menuding bahwa Marwan Al-Hakam-lah biang keladi permainan politik yang sangat berbahaya itu. Mereka menuntut agar Khalifah Utsman r.a. menyerahkan Marwan kepada mereka atau menyingkirkan Marwan dari kekuasaan. Tetapi Khalifah bertahan. Banyak yang memberi nasehat kepada Khalifah supaya Marwan dikeluarkan saja dari pemerintahan.

Nasehat para sahabat ini tidak dapat mengubah pendirian Khalifah yang tetap mempertahankan Marwan. Ia mengakui, bahwa Marwan memang membikin kesalahan, tetapi tidak usah diambil tindakan sejauh itu. Inilah yang mendorong timbulnya krisis politik yang dengan hebat akan melanda kota Madinah.

Sikap Khalifah Utsman r.a. itu seolah-olah katup-lemah dari suasana tertekan yang siap meledak. Dan benarlah, rasa tidak puas rakyat terhadap kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan r.a. akhirnya menggelegar dalam bentuk pemberontakan.

Peristiwa penggantian Kepala Daerah Mesir sebenarnya hanya merupakan sinyal saja bagai pecahnya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman r.a. Api dalam sekam sudah lama membara, menunggu hembusan angin yang bertiup dari kantong seorang kurir yang membawa surat rahasia ke Mesir.

700 orang dari Mesir, berhasil memperoleh dukungan dari sebagian besar penduduk Madinah. Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka berbondong-bondong menuju tempat kediaman Khalifah dan dengan ketat mengepungnya. Tindakan pengepungan ini pada mulanya dimaksud untuk menekan Khalifah supaya cepat-cepat mengambil langkah yang tegas terhadap orang-orang kepercayaannya, yang selalu menjadi biang keladi timbulnya keresahan dalam masyarakat.

Pengepungan total dan ketat itu ternyata menimbulkan akibat yang dari hari ke hari makin buruk bagi kehidupan keluarga Khalifah. Yang paling cepat terasa ialah kekurangan air minum. Pada suatu hari dalam suasana kepungan rakyat itu masih berlangsung dan tambah keras, Khalifah Utsman r.a. dari anjungan berteriak kepada kerumunan orang yang sedang gaduh dan hiruk pikuk: "Adakah Ali di antara kalian?"

"Tidak!" dijawab dengan singkat dan dengan nada kesal oleh kerumunan orang yang berada di bawah anjungan.

"Apakah ada di antara kalian yang mau menyampaikan kepada Ali supaya kami bisa mendapat air minum?" teriak Khalifah Utsman r.a. pula.

Teriakan Khalifah Utsman r.a. itu bermaksud hendak memberitahu kepada rakyat yang memberontak, bahwa persediaan air minum bagi keluarganya. sudah habis. Teriakan terakhir dari Khalifah ini tidak disahuti sama sekali.

Setelah Imam Ali r.a. diberi tahu oleh seseorang, bahwa Khalifah dan keluarganya sangat membutuhkan air, tanpa ragu-ragu ia memerintahkan supaya kepada keluarga Khalifah yang sedang terkepung itu dikirim air 3 qirbah (kantong wadah air terbuat dari kulit kambing atau unta). Guna melaksanakan perintah itu, putera-putera Imam Ali r.a. sendiri, yaitu Al-Hasan dan Al-Husein membawa air ke rumah Khalifah. Berkat kewibawaan Imam Ali r.a., tidak ada orang yang berani menghalang-halangi pengiriman air itu.

Suasana yang tegang itu memang sangat menyulitkan kedudukan Imam Ali r.a. Di satu fihak ia menghormati Khalifah Utsman r.a. sebagai pemimpin ummat yang telah dibai'at secara sah.

Khalifah Utsman r.a. adalah sahabat karibnya dan kawan seperjuangan dalam menegakkan Islam, dalam waktu yang panjang mereka terikat oleh tali persaudaraan, karena masing-masing pernah menjadi menantu Rasul Allah s.a.w. Tetapi di fihak lain, Khalifah yang telah lanjut usia itu tidak berdaya mengendalikan pembantu-pembantunya. Bahkan kepada pembantu-pembantunya ia memberikan kepercayaan penuh.

Berfihak kepada Khalifah berarti membela Marwan dan kawan-kawannya yang terang dibenci oleh kaum muslimin. Berfihak kepada kaum muslimin yang memberontak, berarti melawan Khalifah yang sah. Usahanya untuk menyadarkan Khalifah tentang gawatnya akibat perbuatan pembantu-pembantunya, tidak pernah berhasil. Khalifah Utsman r.a. memang terkenal sejak dulu sebagai orang yang keras dalam berpegang pada pendiriannya.

Pertentangan batin benar-benar bergolak dalam hati Imam Ali r.a. Ia merasa wajib menyelamatkan keadaan dari bencana fitnah, tetapi apa daya jika fihak yang bersangkutan sendiri tidak menghiraukan nasehat-nasehat. Bahkan dalam keadaan yang sangat kritis itu Khalifah Utsman r.a. lebih dekat kepada pembantu-pembantunya. Sementara itu kaum pemberontak makin hari makin hilang kesabarannya. Blokade terhadap rumah kediaman Khalifah tidak berhasil mengubah pendirian pemimpin yang sudah lanjut usia itu.

Para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam dan Sa'ad bin Abi Waqqash, posisi mereka hampir sama dengan posisi Imam Ali r.a. Nasehat-nasehat mereka sudah tidak mempan bagi Khalifah. Padahal tuntutan kaum muslimin yang berontak benar-benar adil dan masuk akal.

Setelah pengepungan makin hari makin berlarut dan Khalifah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan kaum pemberontak, akhirnya kaum pemberontak mengambil jalan pintas. Mereka merencanakan pembunuhan diam-diam terhadap Khalifah Utsman r.a. Rencana kaum pemberontak ini cepat tercium oleh Imam Ali r.a. Ia segera memerintahkan dua orang puteranya, guna melindungi keselamatan Khalifah: "Berangkatlah kalian ke rumah Utsman. Bawa pedang dan berjaga-jagalah di ambang pintu rumahnya. Jaga, jangan sampai terjadi suatu bencana menimpa Utsman!

Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. diikuti oleh para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang lain. Thalhah dan Zubair juga memerintahkan puteranya masing-masing untuk bersama-sama Al-Hasan r.a. dan Al-Husein r.a. melindungi Khalifah Utsman r.a. Langkah-langkah pencegahan yang diambil oleh Imam Ali r.a. itu ditulis. oleh Said Al-Afghaniy dalam bukunya Aisyah was Siyasah. Bahkan kata penulis ini, ketika kaum pemberontak makin gusar dan menghujani rumah Khalifah dengan anak panah, beberapa putera sahabat Rasul Allah s.a.w. yang berjaga-jaga itu ada yang terluka, antara lain Al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin Thalhah. Terlukanya putera-putera para tokoh Islam itu menimbulkan kekhawatiran kaum pemberontak, yang nampaknya di pimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar Ash shiddiq.

"Kalau orang-orang Bani Hasyim datang," kata Muhammad bin Abu Bakar , "dan melihat darah mengalir dari tubuh Al-Hasan dan Al-Husein, mereka pasti akan bertindak terhadap kita.

Rencana kita akhirnya akan gagal." Berdasarkan jalan fikiran yang demikian, diusulkan kepada teman-temannya agar Khalifah Utsman dibunuh saja secara diam-diam.


Gugur di tangan pemberontak


Proses terjadinya pembunuhan atas diri Khalifah Utsman r.a. ternyata banyak diteliti oleh para sejarawan, terutama para penulis sejarah Islam. Ada beberapa versi yang muncul mengenai siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah Utsman r.a. Said Al-Afghaniy, yang bukunya dianggap autentik oleh para sejarawan menunjuk bahwa Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiqlah yang merencanakan pembunuhan itu, tetapi yang melaksanakan rencana dua orang temannya.

Menurut Said Al-Afghaniy, Muhammad bin Abu Bakar bersama dua orang temannya memanjat dinding belakang kamar Khalifah. Ketika itu Khalifah sedang membaca Al-Qur'an dan hanya ditemani oleh isterinya yang bernama Na'ilah. Setelah berhasil memasuki kamar Khalifah, Muhammad langsung menyerbu Khalifah. Lalu janggutnya yang sudah memutih dipegangnya keras-keras. Khalifah dengan nada sedih berkata: "Lepaskan janggutku, hai putera saudaraku!

Baca Lanjutannya dengan klik tombol lihat dibawah


Jika ayahmu melihat perbuatan yang kau lakukan ini… aah, alangkah kecewanya dia!"

Hati Muhammad bin Abu Bakar justru terharu, cair dan luluh. Tanpa disadari, tangan yang sedang memegang erat janggut memutih itu mengendor perlahan-lahan dan lepaslah. Tetapi malang, dua orang teman Muhammad yang turut masuk menyerbu tidak dapat menguasai hatinya masing-masing. Tombak pendek yang mereka pegang segera dihunjamkan ke lambung Khalifah Utsman r.a. Seketika itu juga Khalifah gugur. Na'ilah yang menyaksikan adegan itu melolong dan menjerit-jerit histeris bersamaan dengan melesatnya tiga orang pemuda itu lari melompat jendela. Na'ilah terus menerus menjerit: "Amirul Mukminin terbunuh! Amirul Mukminin terbunuh!"

Dalam versi yang sama, tetapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda, buku yang berjudul Al- Iqdul Farid, jilid III, halaman 78-82, juga mengungkapkan proses pembunuhan atas diri Khalifah Utsman r.a. Segera setelah mendengar berita tentang terbunuhnya Khalifah Utsman r.a., Imam Ali r.a. termasuk orang pertama yang menuju ke kamar maut. Duka hatinya yang mendalam terpancar terang sekali pada wajahnya ketika menyaksikan sahabatnya gugur secara menyedihkan. Tetapi wajah sendu itu kemudian berubah merah padam waktu ia menoleh kepada dua orang puteranya. "Bagaimana ia bisa terbunuh? Bukankah kalian berdua sudah kuperintahkan supaya berjaga-jaga di depan pintu rumahnya?" tegor Imam Ali r.a. kepada dua orang puteranya dengan suara membentak.

Tampaknya kemarahan Imam Ali r.a. demikian hebatnya, sampai kedua orang puteranya itu dipukulnya sendiri. Kemudian kepada Na'ilah, janda Khalifah Utsman r.a. yang sedang dirundung malang ia bertanya tentang siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah.

"Aku tak tahu," jawab Na'ilah. "Yang kulihat ada dua orang tak kukenal masuk bersama Muhammad bin Abu Bakar…" ujarnya sambil menangis. Lalu diceritakan oleh Na'ilah apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin Abu Bakar.

Ketika Imam Ali r.a. mengecek keterangan Na'ilah kepada Muhammad bin Abu Bakar, putera Khalifah pertama itu hanya mengatakan: "Wanita itu tidak berdusta. Aku memang masuk ke kamar itu dengan rencana hendak membunuh Utsman. Tetapi pada saat ia mengingatkan aku tentang ayahku, aku sadar kembali dan bertaubat."

Dengan nada sungguh-sungguh dan penuh penyesalan, putera Khalifah Abu Bakar r.a itu kemudian melanjutkan kata-katanya: "Demi Allah, aku tidak membunuhnya!"

Menanggapi keterangan Muhammad bin Abu Bakar itu, Na'ilah pada lain kesempatan berkata kepada Imam Ali r.a.: "Bahwa apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar. Tetapi dialah yang membawa masuk dua orang pembunuh itu."

Agak berbeda dengan dua riwayat tersebut di atas, versi lain lagi yang ditulis oleh sejarawan terkemuka juga, At-Thabariy, dalam bukunya Tarikh, jilid III, mengatakan pada halaman 421 sebagai berikut: Seorang demi seorang memasuki kamar Khalifah yang sedang membaca Al-Qur'an. Tapi orang-orang itu mundur kembali karena ragu-ragu hendak membunuh Khalifah yang sudah lanjut usia.

Kemudian masuklah Qutairah dan Saudan bin Hamran bersama seorang lagi yang dipanggil dengan nama Al-Gafhiqiy. Dengan sebatang besi yang dibawanya, Al-Gafhiqiy menghantam Khalifah Utsman. Qur'an yang sedang dibaca oleh Khalifah ditendang sampai jatuh di depan orangtua itu, kemudian memerah dibasahi cucuran darah yang mengalir dari luka-luka Khalifah.

Saudan segera maju untuk menebas leher Khalifah, tetapi isterinya yang menyaksikan kejadian itu cepat-cepat bergerak maju untuk menahan pedang yang sedang diayun, sehingga putuslah jari-jarinya.

Habis melakukan pembunuhan kejam itu, tidak lupa mereka merampas benda-benda berharga yang ada dalam ruangan. Bahkan mereka mencoba melucuti perhiasan yang sedang dipakai oleh anak-anak dan isteri Khalifah Utsman. Tetapi ketika mereka mendengar pekik dan jerit para wanita, terpaksa mereka buru-buru lari keluar. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah, tahun 35 Hijriyah, yaitu waktu Khalifah Utsman genap berusia 82 tahun.

Terbunuhnya Khalifah ketiga ini merupakan alamat buruk yang menandai akan terjadinya krisis baru yang lebih hebat lagi di kalangan ummat Islam masa itu. Bagi Imam Ali r.a. sendiri, peristiwa itu menempatkan dirinya pada kedudukan yang serba sulit. Sebab terbunuhnya Khalifah berarti terjadinya kekosongan pimpinan yang serius dan tak mudah diatasi. Sedang wilayah Islam sudah sedemikian luasnya membentang dari barat sampai ke timur.

Tokoh-tokoh seperti Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan, Marwan bin Al-Hakam, Abdullah bin Abi Sarah dan lain-lain, itulah pada hakekatnya yang menggali liang kubur bagi Khalifah Utsman r.a. Mereka itulah sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas terjadinya malapetaka yang menimpa diri Khalifah itu. Tetapi rasa tanggung jawab itu tidak ada pada mereka. Malahan setelah pemberontakan terjadi dan Khalifah mati terbunuh, mereka cepatcepat membersihkan diri dan cuci tangan, serta menjadikan Imam Ali r.a. sebagai kambing hitam.

Lanjutkan Membaca ...