VIVAnews - Dulu disembah-sembah, sekarang dicaci maki. Itulah yang harus ditanggung Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, dan keluarga. Kekuasaan Ben Ali berakhir secara tidak terhormat saat dia dan keluarga kabur ke Arab Saudi, Jumat 14 Januari 2011, setelah tidak bisa lagi mengendalikan kemarahan rakyat akibat krisis ekonomi.
Menurut kantor berita Associated Press (AP), rakyat Tunisia tidak saja muak dengan Ben Ali - yang memerintah selama 23 tahun - namun juga kepada istrinya, Leila Trabelsi. Mantan penata rambut itu berganti status menjadi Ibu Negara saat suaminya menjadi presiden Tunisia, melalui kudeta tak berdarah, pada 1987.
Di mata rakyat, Leila tidak jauh beda dengan suaminya, bersikap semena-mena dan arogan. Bahkan Leila dianggap sebagai simbol korupsi dan ketamakan di Tunisia.
Semua usaha di Tunisia, baik itu bank, maskapai penerbangan, diler mobil, operator internet, stasiun televisi dan lain-lain pasti dikuasai keluarga Leila dengan memanfaatkan keuasaan Ben Ali. Maka, saat Ben Ali dan Leila kabur, banyak properti dan tempat usaha milik keluarga Trabelsi jadi sasaran pembakaran dan penjarahan.
Menurut kabar media setempat, seorang kerabat Trabelsi dibunuh oleh massa. Selain itu, seorang pilot menolak menerbangkan pesawat yang membawa lima anggota keluarga Trabelsi ke luar negeri. Pilot itu akhirnya disambut sebagai pahlawan.
"Mereka [keluarga Trabelsi] adalah pencuri, penipu, bahkan pembunuh," ujar Mantasser Ben Mabrouk, seorang warga Tunisia yang marah. "Tujuan mereka hanya untuk mencetak uang dengan berbagai cara," lanjut Ben Mabrouk kepada AP.
"Presiden berbuat banyak kebaikan, namun keluarganya juga berbuat banyak kejahatan bagi Tunisia," kata Mohamed Gaddahi. Kelompok Transparency International juga mencatat jaringan bisnis keluarga presiden yang dilakukan secara sewenang-wenang dengan memeras pengusaha lokal.
"Para investor Tunisia, karena takut dengan jaringan "keluarga", akhirnya enggan melakukan investasi baru sehingga tingkat investasi domestik tetap rendah dan pengangguran jadi tinggi," demikian laporan Kedutaan Besar AS di Tunis pada Juni 2008 dengan bersumber dari TI, yang akhirnya bocor di laman WikiLeaks.
Penulis buku mengenai Leila Trabelsi, Catherine Graciet, mengungkapkan bahwa Leila dan kerabatnya memainkan peran yang absolut bagi jatuhnya rezim Ben Ali. "Rakyat Tunisia sadar sudah muak dan tidak tahan lagi atas perilaku mereka," kata Graciet.
"Namun, kita tidak bisa menimpa kesalahan sepenuhnya kepada keluarga Trabelsi, karena Ben Ali yang membiarkan mereka bertindak demikian," lanjut Graciet.
Leila merupakan anak kelima dari keluarga pedagang buah kering dan memiliki sepuluh saudara. Sempat bekerja sebagai penata rambut dan gagal mempertahankan perkawinannya yang pertama, Leila menikah dengan Ben Ali pada 1992.
Saat itu, Ben Ali sudah lima tahun berkuasa sebagai presiden melalui kudeta tidak berdarah, dengan menggantikan Habib Bourguiba yang sudah sakit-sakitan. Dengan Leila, ini juga pernikahan kedua bagi Ben Ali. (umi)
0 comments:
Posting Komentar