6 Jan 2011

Polusi? Macet? Anda atau Saya?


INILAH.COM, Jakarta-Anggota komunitas pekerja bersepeda atau Bike to Work (B2W) hampir selalu menghadapi pertanyaan yang sama dari orang lain. Untuk apa bersepeda dengan keringat dan polusi udara ke kantor? Kan lebih enak naik kendaraan bermotor atau naik angkutan umum.

Pertanyaan tersebut terjawab lewat kisah Cak Yo lewat kisahnya pada suatu waktu di dalam kereta listrik.


Berikut penuturan Cak Yo kepada INILAH.COM mengenai pertanyaan banyak orang akan B2W.

Suatu hari di KRL AC dari arah Serpong menuju Jakarta, Saya yang lagi membawa seli (sepeda lipat), nyelip di space aman dan tidak menggangu penumpang .

Disamping saya berdiri seorang muda berbaju rapi ala kantoran dengan BB di tangan, keren dan parlente.

Keliatannya dari tadi dia memperhatikan saya yg nenteng seli ban 16 inci ke dalam KRL.

Mungkin dia heran, melihat saya yg pake celana pendek (keliatan bulu kakinya…hiii) pake helm, kaos dan tas rensel kecil di punggung. Mirip anak SMP, ha ha ha....

“Mas, mau kerja ya? Kok bawa sepeda? Gak takut polusi? Jakarta kan amit-amit polusinya!,” tanya eksekutif muda tersebut.

“Iya, Mas. Saya tiap hari naik sepeda, dan sesekali kombinasi sama KRL,” jawabku.

“Wow.. tiap hari? Waduhh apa gak rusak paru-paru menghisap udara berpolusi tiap hari di Jakarta?” tanyanya lagi.

Saya terdiam sejenak, saya pikir eksekutif muda dari tadi konsen dan selalu nanya soal polusi daripada enaknya bersepeda. Oke, baiklah aku akan beri sedikit pencerahan,

“Saya kalau naik sepeda gak lewat jalan raya yang umumnya di lewati mobil dan motor, Mas. Hanya sesekali masuk jalan raya, terus kembali masuk gang-gang dan jalan-jalan alternatif yg relatif sepi dari motor dan mobil, selain udaranya relatif bersih juga lebih aman,” jawabku.

“Tapi kan, Mas. Kerja di tengah kota Jakarta, mau gak mau pasti ketemu jalanan macet dan berpolusi sangat tinggi?” Si muda bertanya dengan nada mulai sengit.

“Iya, kalo masuk Jakarta dan jalanan macet yg berpolusi saya pake masker. Saya selalu mengantongin masker buat jaga-jaga kalau ketemu jalanan yg berpolutan tinggi,” jawabku lagi.

“Wah, Mas ini ribet ya. Mau kerja naik sepeda berkeringat, bawa baju ganti, menembus polusi, dan resiko kecelekaan di jalan. Kalau saya sih, milih naik mobil, puter musik, dan pasang AC,” ujarnya.

Sambil tersenyum saya menjawab, “Iya, mas. Saya memang ribet. Cuma saya berandai-andai jika semua orang di Jakarta dan kota-kota besar berpikir kayak saya mau naik sepeda. Ceritanya pasti lain. Mungkin saya kerja gak perlu berdandan ala orang mau perang gini, he hehe.. Saya bisa bersepeda cukup pakai celana panjang dan kaos. Lalu nanti di kantor, ganti kemeja dan siap kerja, seperti saat saya di kampung. Cuma sekarang situasi kan beda. Saya tinggal di ibu kota dan semua orang berpikiran sama kayak Si Mas. Maunya naik mobil, putar musik, pasang AC, meskipun mereka tahu itu menyebabkan kemacetan yg merajalela. Tapi mereka mugkin sudah terbiasa dan masa bodoh. Kalau saya orangnya tidak tahan mas dengan duduk diam di comfortzone tapi tidak berdaya apa-apa. Terus saya juga mau mengurangi jadi penyumbang kemacetan dan polusi yg makin menggila in,” ujarku.

Sejenak Si Muda terdiam. Lumayan kotbah pagi ini kena juga ke pikirannya, he he he.. Ya sudah, keputusan di tangan anda. Polusi, macet, kesemrawutan jalan ini mau kita budayakan? Sampai kapan? Sampai stres dan jadi penyakit kronis? Atau kita berubah mau berpikir terus bertindak membudayakan bersepeda kepada masyarakat kita. Bagaimana? [abs]
Lihat dalam tampilan PDF

0 comments:

Posting Komentar